Sabtu, 30 Agustus 2014

Cerpen : Berlian dalam Belukar (created on May 3th, 2014)

Berlian dalam Belukar

Jam menunjukkan pukul dua belas siang. Terik di kala itu begitu menyengat. Bara surya-Nya bahkan ingin sekali mendesak masuk melegamkan epidermis. Namun, tak sedikitpun aku  berniat untuk mengangkat tubuh dan mempersilahkan diri dan berkata ‘pergilah’. Saat itu adalah saat-saat yang aku tunggu selama satu bulan belakangan. Semacam ‘kopi darat’, mungkin.
Dengan seragam SMP dan belasan pita di rambut aku duduk di pinggir lapangan basket sendirian. Pikiranku melayang-layang sambil menorehkan senyum bila mengingat apa yang aku lakukan sekarang. Reno namanya. Ia adalah kakak kelas dua tingkat di SMAku yang baru ini. Perkenalanku dengannya sudah terjalin cukup lama. Melalui situs jejaring sosial lah kami berkenalan. Dia keren, baik, ramah, humoris, perhatian terhadap perempuan, dan bisa dibilang romantis. Namun sayang, harapan untuk bisa menemuinya baru tertambat sekarang setelah sebulan lamanya hanya bisa bercengkerama lewat akun dunia maya, dan ‘tertatih-tatih’ melewati Masa Orientasi Siswa selama tiga hari tanpa melihat batang hidung yang sama sedikitpun dengannya di sekolah. Terlihat bayangan anak laki-laki yang mendekat. Jangkung, senyum manis, namun serasa ragu untuk semakin mendekat. Ya, itu Reno! Segera aku bersiap-siap diri, lebih tepatnya berpura-pura diri untuk mengotak-atik Blackberryku yang tak bernyawa dalam sel keringnya.
“Cinta, ya?”, seloroh lembut itu diterima oleh telingaku dengan cepat, seakan menjebakku untuk tercekat. Aku pun menoleh. “Mmmm..iya..eh..Kak Reno, ya? Hehe.” Tawa ‘renyah’ku seakan menampar keadaan. Bagaimana bisa situasi ini sangat kontras dengan celoteh-celoteh ngawur di dunia maya selama sebulan lebih?
“Hahaha..nggak usah grogi gitu kali, Cin. Biasa aja. Kan kita udah akrab banget di dunia maya. Mmmm..udah nunggu lama ya?”, jawabannya seakan menjadi probem solver dalam keheningan yang hampir aku ciptakan. “Nggak sih, Kak. Cuman sepuluh menit kok. Walaupun panas sih.”, seruku sambil mengusap-usap tangan, sengaja memberi kode untuk mengajak ke tempat yang lebih teduh. Ia pun tersenyum singkat. “Oke, aku tahu kok. Aku mau ngomong dua hal. Yang pertama, maaf ya adek kelasku yang baru, kalau aku sengaja ngasih MOS tambahan buat kamu. Dan yang kedua, jalan yuk.”
Aku merasa Si Cupid dengan sigap mengarahkan panahnya menuju tepat di palung hatiku. Kata-kata yang sederhana, simple, namun berhasil ‘meledakkan petasan’ di dadaku. “Ah, nggak apa-apa kok, Kak. Buat jawaban yang kedua, aku ngikut aja deh.”, jawabku sambil menahan senyum yang berlebihan. Reno segera melepaskan senyum dan tawanya, diiringi dengan alunan kaki yang santai. Di sisi lain, aku berharap suatu saat kaki itulah yang berlari untukku.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah dua pekan terakhir aku berhasil mewujudkan ekspektasiku di dunia nyata. Berangkat dan pulang sekolah bersama, nonton film bersama, makan siang bersama, dan melontarkan celoteh-celoteh ngawur yang dahulu hanya bisa aku serukan di dunia maya. Kebersamaan ini sudah tidak asing lagi bagi teman-teman kelasku, maupun kakak kelas yang lain. Aku hanya bisa menjawab semua interogasi teman-temanku maupun lirikan-lirikan para kakak kelas perempuan dengan morse senyuman. Ketidakpedulianku dengan makna dari kebersamaanku bersama Reno selama ini pun melahirkan opsi kontras, apakah dia mencintaiku, atau tidak. Hubungan nyata yang telah terlihat di depan semua orang pun tidak bisa dipertahankan hanya dengan status ‘Kakak-Adik’. Perlahan-lahan aku mulai menjauh darinya, dan mulai melebarkan egoku lewat kutipan-kutipan risau di akun jejaring sosial. Dia pun juga semakin menjaga jarak denganku. Waktu pun memakan hari, semakin lama status itu pun tertelan masa. Dan bahkan lenyap seketika.
Hingga kalender menunjukkan tanggal sejarahku. Ulang tahunku yang ke-15. Kubuka dengan mata sipit perlahan-lahan di tengah malam, membaca satu-persatu pesan singkat yang telah terkirimkan ke nomor selularku. Begitu pula dengan pemberitahuan yang ada pada akun jejaring sosialku. Tak ada satu pun yang membuatku membuka mata secara bermakna. Tak ada pesan dari Reno. Kututup handphoneku dan kembali tidur hingga ufuk fajar mengetuk langit untuk membuka cakrawalanya.
Di sekolah, aku pun mencoba menepis segala ucapan riang teman-temanku dengan senyuman kecut. Tak ada yang perlu diselamati, pikirku. Biarlah umur ini bertambah, toh tak akan mampu menyingkirkan kekecewaanku akhir-akhir ini. 
Dan hari pun terlalui hingga dering bel sekolah mengumandangkan kekuasaannya. Menandakan saat-saat yang paling kunantikan telah tiba, pulang sekolah. Tiba-tiba, cengkeraman yang kuat meraih pergelangan tanganku dari belakang.
“Kak Reno. Ngapain?”, jawabku datar.
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, sebentar aja. Boleh kan?”
“Oke.”
Dengan tanpa permisi, ia meraih tanganku dan membawaku ke suatu tempat. Langkahnya pun berakhir di taman.
“Ada apa sih, Kak? Biasa aja kali, nggak usah jalan sambil megang tanganku kenceng-kenceng gini.”, ujarku kesal. Ia sama sekali tak berkomentar. Mulutnya pun menganga lebar, seakan ingin membuka pembicaraan yang panjang.
“Cinta, aku tahu, kamu juga ngerasain apa yang aku rasain. Semua apa yang kamu omongin di akun kamu, atau semua sikap kamu akhir-akhir ini, aku tahu aku yang salah. Aku takut kamu bakal benci sama aku, karena aku cowok tolol yang penakut dan nggak tegas.”
“Maksudnya?”
Seketika, tangannya meraih tanganku dengan lembut dan hati-hati, merasa bahwa tanganku adalah sebuah bangunan yang kokoh namun rentan sekali rapuh.
“Aku tahu, kamu nggak nyaman sama kebersamaan kita dulu, tanpa status. Aku cuma takut, kalau aku jalan lebih lanjut sama kamu, kamu bakal tersakiti.”
“Tersakiti apa?”, tanyaku penasaran.
“Jujur, aku takut kalau kita harus LDR ke depannya. Aku takut itu bakal menyiksa kita besok.”, jawabnya dengan menunduk.
Kurasakan gejolak bahagia namun hancur di dadaku. Sejauh itukah ternyata harapan Reno kepadaku untuk merajut tali kasih bersama? Tapi kenapa dia harus melakukannya dengan cara seperti ini? Dengan cara yang seolah-olah siap membunuhku setiap saat ketika mengingatnya.
“Aku nggak tahu, gimana pola pikirmu. Tapi untuk apa kamu takut, Kak? Cinta itu kita yang menjalani, waktu hanya mengikuti alur kita, bukan menghakimi. Untuk apa kamu takut untuk berhubungan jarak jauh suatu saat, apa yang perlu dikhawatirkan? Semua tergantung dua subjek, aku dan kamu. Selama Kak Reno masih percaya kesetiaan dan komitmen, nggak ada yang perlu ditakutin.”
“Aku takut semua itu karena aku sayang kamu, Cin. Baru kali ini aku bisa akrab banget sama cewek, bahkan lebih.”
“Terus, sekarang maunya Kak Reno gimana?”
“Terus, kamu mau nggak jadi pacarku?”, sambungnya dengan lugas dan mampu memberikan dentuman hebat dalam jantungku. Dia berhasil membuatku tercekat dan tak mampu lagi mengeluarkan kata-kata. Sejenak kutarik napasku dalam-dalam, penuh arti, hanya untuk mengeluarkan satu kata sederhana namun penentu segalanya. Ya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Oktober. Bulan pembawa rezeki dan beribu penantian, bagiku. Setelah ayahku mendapat kenaikan pangkatnya sebagai stabilisator keamanan dan ketertiban negara, dua bulan sudah aku merajut tali kasih dengan Reno. Hubungan yang sangat indah tanpa pernah ada masalah. Dan di bulan Oktober juga, Reno akan berulang tahun yang ke-17. Dengan surprise kecil di malam hari, sudah cukup merangkapi kebahagiaanku dengannya. Membentuk simbol cinta yang disusun dengan 17 lilin bukanlah pekerjaan yang mudah tanpa bantuan teman-teman terbaikku. Duduk berdua di tengah lilin-lilin kecil yang mengelilingi, telah menambah rasa cintaku padanya, begitu pula dengannya.
Hingga Oktober pun berganti menyapa kawan-kawannya. Tiga bulan, empat bulan, lima bulan, hingga enam bulan. Entah mengapa, Reno berubah drastis menjelang Ujian Nasional. Sifat pemarah, gampang tersinggung, kasar, dan terlalu sensitif, menyeruak dalam dirinya. Aku mencoba mengistirahatkan napasku sendiri dan berkata, ‘Tenanglah, Cinta. Mungkin dia lelah.’ Dan mungkin, Hari Kasih Sayang yang jatuh pada tanggal 14 Februari adalah awal dari segalanya.
Sepulang sekolah, aku mencoba menghubungi Reno, memastikan bahwa janji yang telah kami buat benar-benar tanpa ingkar. Kuraih telepon genggamku dan mulai menulis pesan singkat.
“Sayang, kamu dimana? Jadi ngerayain Valentine nggak? Kalau iya, aku mau pulang dulu, bawain sesuatu buat kamu. Tunggu di kelasku kayak biasanya, ya.”
Sesaat kemudian, ia membalas. “Aku lagi keluar sebentar. Iya deh. Cepetan ya.”
Dengan sigap aku pulang ke rumah yang hanya berjarak 300 meter dari sekolahku. Dari tadi malam, aku telah menyiapkan spaghetti spesial dengan bahan racikan khusus dari resep andalan kakakku. Mungkin, dengan memasak spaghetti bertuliskan ‘I Love U’ ditengahnya, akan sedikit meredamkan amarah dan kekakuan Reno yang terjadi akhir-akhir ini. Setelah mengecek segala perlengkapan makanan, aku segera kembali menuju sekolah.
Sesampainya di parkiran, aku bertemu dengan teman kelasku, Bagas namanya. Aku cukup akrab dengannya. Dia jangkung, keren, dan namanya sudah tak asing di telinga siapa saja yang pernah mendengarnya, baik warga sekolah maupun luar sekolah, termasuk kakak-kakak kelas yang tidak suka dengan adik kelas yang dicap ‘sok gaya’. Dia pun melemparkan senyum ke arahku. Aku hanya bisa menghampirinya dengan tatapan ramah pula.
“Kok belum pulang, Gas? Tumben.”
“Aku mau balik ke kelas nih, dompetku ketinggalan di laci kayaknya.”
“Oh, mau ke kelas? Bareng dong kalau gitu. Aku juga mau kesana.”
Kami pun berjalan menyusuri setapak taman yang memantulkan terik matahari secara sporadis. Dengan kelakar-kelakar yang biasa diucapkan, kami hampir berhasil menyentuh pintu kelas hingga terlihat sesosok Reno di depannya, sambil mengetuk-ketukkan jari di daun pintu. Wajahnya yang masam dan tak seperti biasanya, membuatku takut untuk maju selangkah lagi. Berbeda dengan Bagas, yang cuek masuk dan meninggalkan kelas.
Aku pun mencoba memecah keheningan. “Hei, ngapain diem aja? Nih, Voila! Spaghetti spesial ala Chef Cinta!”, celotehku menutupi ketakutan yang melanda.
“Kamu tadi habis pergi sama dia?”, tanyanya tanpa menghiraukan keceriaanku sama sekali.
“Ya enggak lah. Tadi di parkiran aku ketemu dia. Kebetulan dia mau ngambil dompetnya yang ketinggalan di kelas.”
“Terus jalan bareng gitu?”
“Kamu kenapa sih?”, tanyaku dengan nada meninggi. Kuakui itu semakin memperburuk keadaan.
“Justru kamu yang kenapa! Ini hari kasih sayang, tapi kamu malah jalan bareng sama orang yang jelas-jelas aku benci, dan kamu juga tahu itu kan?”
“Oke, aku tahu. Tapi dia itu temen kelasku sendiri. Masak aku harus diem aja gitu ketemu dia? Aku harus ngomong berapa kali sih ke kamu, kalau aku sama dia itu nggak ada apa-apa. Cuma teman sekelas.”
“Aku nggak peduli. Mau teman sekelas, mau enggak, aku tetep benci sama dia yang sok gaya jadi adik kelas. Tinggal kamu pilih, aku apa temen sekelasmu itu.”
Air mataku seketika bercucuran. Aku tidak menyangka, masalah yang sangat sepele bagiku, justru berbuah petaka.
“Kenapa sih kamu marah-marah gini sekarang? Kamu nggak kayak dulu lagi tahu nggak, sih.”, ujarku sambil menangis membasuh air mata yang menetes di pipi.
“Udahlah, nggak usah nangis. Cengeng banget. Aku nggak suka aja kamu ngeyel dan tetep ngelakuin apa yang aku larang. Aku udah bilang kan, jangan deket-deket ama dia. Aku nggak suka kamu dekat sama lelaki manapun. Aku capek. Mendingan kamu makan sendiri aja spaghettinya. Aku mau pulang.” Ia pun berlalu meninggalkanku yang masih berdiri membisu di depan kelas. Membungkam jeritan keras di dalam hati.
-------------------------------------------------

Sebulan berlalu. Semenjak kejadian itu, aku mencoba untuk mem’bodoh’kan diriku sendiri. Aku pun mencoba menghindarkan diri dari kontak ‘teman laki-laki’. Dan seiring dengan program yang telah aku implementasikan, Reno menjadi kembali ramah dan romantis kepadaku. Aku sedikit lega, mengingat aku juga tak mau mengganggu konsentrasinya untuk beberapa Uji Coba sekolah dalam menghadapi Ujian Nasional satu bulan ke depan. Semua hampir berjalan normal kembali, sebelum malapetaka kedua menghajar keras hubunganku dengan Reno.
Mantanku sebelumnya, Reza, menghubungiku kembali melalui pesan masuk dalam akun jejaring sosialku. Dengan sapaannya yang ramah, aku pun membalas pesannya dengan ramah pula. Dia berbagi cerita tentang masa-masa yang ia lewati tanpaku. Lucu memang, tapi aku berusaha menanggapinya dengan lelucon-lelucon masa lalu yang mampu membuat kami tertawa dan akrab kembali, tanpa adanya ekspektasi lebih. Karena ia tahu, bahwa aku sudah menjadi milik orang lain, dan aku pun sudah tidak mencintainya lagi.
Namun celakanya, lelucon-lelucon itu memburamkan pikiranku untuk sejenak kembali mengingat bahwa aku dan Reno telah saling bertukar password akun. Tanpa sadar, aku lupa menghapus percakapanku dengan Reza malam itu. Dan pecahlah peperangan setelahnya. Kubuka satu pesan baru dari ‘Sayang’ yang tertera di handphoneku.
“Dasar cewek nggak tahu diri. Keganjenan. Kamu kira aku goblok, tolol, buat nggak tau apa yang kamu lakuin sama mantanmu? Mantan itu masa lalu! Ngapain kamu tanggepin? Udah kebongkar kan semua kedokmu? Nggak usah ngelak, karena nggak ada yang perlu dijelasin, dan nggak ada yang harus dimaafin. Mana komitmenmu dalam kesetiaan dan kepercayaan? Mungkin komitmenmu harus berakhir sampai disini.”
Hatiku seperti tersayat sembilu pisau tumpul yang mencoba mengiris. Lama sekali untuk memahami dan merasakan sakit. Aku disebut ‘cewek nggak tahu diri’? Keganjenan? Dan…putus? Aku mencoba untuk menguatkan diriku untuk membaca kata-kata kasar lain yang tertera dalam pesan singkatnya. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Aku sangat mencintai dia, aku belum siap kehilangan dia, dan semua ini hanya kesalahpahaman belaka! Aku tak tahu apa yang harus aku perbuat lagi. Aku mencoba menghubungi nomornya dan mengirim pesan singkat puluhan kali, tapi tak sedikitpun memberikan efek. Aku menangis sejadi-jadinya, mencoba meredam jeritan sakit yang ingin aku keluarkan dari mulut ini. Seperti itukah pandangannya terhadapku, kekasihnya sendiri? Sependek itukah kepercayaannya padaku? Hingga aku memutuskan untuk tidak tidur hingga fajar menyongsong hari.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Ya Tuhan! Cinta, kamu kenapa? Kok pucet banget sih?”, tanya Sintya, sahabatku sekaligus teman duduk sebangkuku. Ia mengomel tak karuan setelah beberapa menit aku tidak menjawab pertanyaannya. “Iya, kamu kenapa, Cin? Sakit? Yuk, ke UKS aja, kita anter deh.”, sambung Tias, seorang cewek yang bangkunya ada di depanku.
“Nggak papa kok. Cuma butuh istirahat aja.”
“Udah makan?”
“Belum.”
“Ya ampun, Cin! Ngapain belum sarapan? Sarapan yuk, mumpung pelajaran kosong nih.”
Sebelum menjawab pertanyaan Sintya, bola mataku telah menghamburkan efek ‘blur’ terdahulu sebelum akhirnya aku jatuh pingsan.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Jadi karena itu, Cin, kamu jadi kayak gini?”, tanya Sintya saat mendengarkan curahan hatiku setelah aku tersadar. Tak banyak kata yang bisa aku ucapkan. Bulir-bulir air mata yang menetes di pipi seolah mewakiliku. Aku pun melanjutkan bicaraku.
“Aku capek. Aku merasa sekarang Reno udah berubah total. Nggak ada Reno yang romantis, perhatian, lembut, kayak dulu lagi. Sekarang dia cuma bisa marah, gampang tersinggung, dan cemburuan banget.”, ujarku dilanjutkan oleh tangisan yang tersedu-sedu. Teman-temanku segera memeluk dan membelai rambutku mengisyaratkan ‘Sabar, Cinta.’ Setidaknya, semangat dari mereka cukup meredamkan sakitku.
“Ngapain kamu disini?”, tiba-tiba suara yang tak asing itu menyambar telingaku. Reno.
“Aku kesini dipanggil Tias. Ada apa?”
“Maksudmu ada apa?”
Sintya dan kawan-kawan memberiku isyarat, memastikan bahwa merekan akan segera pergi.
“Ngapain kamu harus mendramatisir diri kayak gini? Semua ini juga salahmu sendiri, kan? Apa kamu udah lupa sama janji-janji kita, nggak akan berhubungan lagi sama masa lalu.”
“Iya, aku tahu aku emang salah, Ren. Tapi aku sama sekali nggak punya maksud apa-apa. Kamu juga nggak seharusnya ngata-ngatain aku secara kasar kayak di SMS. Karena aku tahu, Reno yang aku kenal jauh banget dari sekarang.”
“Setiap orang juga punya batas kesabaran kan, Cinta? Aku nggak bisa terus-terusan ngalah sama kelakuanmu yang masih labil itu. Semua orang bisa berubah. Dan kamu bikin aku jadi kayak gini!”
“Cukup, Reno. Cukup! Daripada kamu bikin aku kayak gini sama kelakuanmu, mending aku mati aja!”, teriakku sambil memegang pisau di meja seberang, yang justru memecah tawanya.
“Hahaha..dasar anak kecil. Hei, nggak usah macem-macem. Nggak usah kayak anak kecil!”
Tanpa memperdulikannya, aku hampir mengiris pergelangan tanganku, yang segera disahut dan dipeluknya tubuhku dengan erat-erat. “Jangan ngelakuin hal kayak gini lagi. Aku nggak suka.”, katanya dengan lembut.
“Aku emang salah, Ren. Tapi kamu nggak bisa kayak gini terus. Jangan berubah kayak gini. Aku sayang sama kamu. Kamu cuma salah paham.”, tangisku memecah suasana. Ia hanya membisu dan tak berkata-kata. Hanya sentuhan tangannya yang mampu menenangkanku dari situasi ini. Setidaknya, dia kembali lagi untukku, dan cinta inilah sang pemenang situasi.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ujian Nasional telah terlewati. Para kakak ‘tertua’ dengan senang hati menghembuskan napas kelegaannya yang telah mereka tekan selama tiga tahun ini. Pesta perpisahan pun tiba. Aku ditunjuk sebagai salah satu pengisi acara tersebut. Dengan pakaian yang cukup minim, aku menyanyikan sebuah lagu milik girlband ternama bersama temanku yang lain, dan disambung dengan menari berpasangan laki-laki dan perempuan.
Selesai pentas, aku segera berlari untuk berganti pakaian. Kelegaanku membuncah ketika aku sudah mengenakan seragam sekolah seperti biasa. Namun, firasat tak enak menyeruak saat Reno ada di belakang kelasku.
“Hai..”, sapaku kaku. “Gimana, udah foto-foto sama teman sekelas?”
“Udah.”
“Mmm..tadi aku kok nggak lihat kamu waktu aku pentas. Katanya kemarin kamu mau nonton aku, pasti tadi sibuk sendiri kan sama temen-temenmu?”, ujarku sedih.
“Nonton kok. Tapi sayangnya aku nyesel.”
“Kenapa?”, tanyaku tegang.
“Aku nggak habis pikir. Sejak kapan kamu mau makai pakaian minim kayak gitu? Nari-nari sama cowok, mesra lagi. Kenapa kamu nggak pernah ngomong sama aku sebelumnya?”
“Aku udah pernah bilang ke kamu, Ren. Tapi kamu cuek-cuek aja. Kamu terlalu sibuk sama band kamu itu. Sekarang, malah aku yang disalahin. Lagian, aku juga baru ini kok tahu kalau kostumnya dari sekolah bakal seminim itu.”
Tiba-tiba, sebuah tangan melayang dan mendarat keras di pipiku. Sesuatu yang seumur-umur baru kali ini dilakukan oleh seorang laki-laki kepadaku, yang notabene kekasihku sendiri.
“Pinter banget ya kamu nyalahin orang, nyalahin bandku, temen-temenku. Udah salah, ganjen, malah nyalahin orang. Bisa nggak sih jadi cewek itu punya pendirian pasti? Kamu lupa sama kelakuanmu yang selingkuh itu sama mantanmu? Gimana mau lancar LDR’an kalau dikasih nasehat malah ngeyel. Dasar cewek nggak tahu diri!”
Seketika aku menjerit dan menangis, tak peduli orang-orang yang menyimak pertengkaranku dengan Reno.
“Silahkan, tampar aja lagi kalau itu bisa bikin kamu seneng! Kurang apa sih aku di matamu, Ren? Aku selalu sabar, ngalah, nurut sama kamu. Tapi kamu malah semakin menjadi-jadi! Aku bisa maklum kalau kamu jadi pemarah kayak gini gara-gara Ujian Nasional. Tapi makin lama kamu makin nggak kontrol tahu nggak!”, tuturku dipadu dengan tangisan yang menjadi-jadi. Kulihat belasan pasang mata menatap sinis ke arah Reno, dan menyalurkan simpati ke arahku. Kulihat muka Reno yang geram sekejap menjadi lembut dan penyayang. Dia memegang tanganku dan segera mengajakku keluar dari posisinya yang terpojokkan. Ia membawaku ke halaman belakang sekolah.
“Udah, lupain kejadian tadi. Anggap aja kita nggak pernah bertengkar kayak gitu. Aku minta maaf, aku terlalu lancang nampar kamu. Aku ngelakuin itu karena aku sayang kamu.”, jelasnya sambil membelai rambut dan memelukku. Aku merasakan pelukannya yang terlalu kuat, bagaikan cengkeraman elang kepada mangsanya, yang membuatku tak nyaman. Namun sekali lagi, setidaknya dia kembali lagi untukku, dan cinta inilah sang pemenang situasi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Pengumuman kelulusan telah berhasil memenangkan hati para pejuang di seluruh penjuru tanah air. Sorak-sorai, teriakan kemenangan, tawa lepas, dan warna-warni yang menghiasi seragam turut mewakili apa yang aku rasakan sekarang. Kebahagiaan yang menggelayuti hatiku dan Reno, seakan menghapus segala problema yang telah terjadi di hari lalu. Senyumnya yang manis dan tawanya yang renyah, mampu menggerakkan bibirku untuk sedikit menorehkan rasa senyum. Kata ‘LULUS’ yang tertera, dibubuhi dengan nilai-nilai maksimal di ijazahnya, ternyata sesuai dengan harapanku dan dia. Kami segera merayakan kemenangan di sebuah kafe favorit kami.
“Aku bahagia, kalau kamu bahagia kayak gini. Senyummu segala-galanya buat aku, Ren.”, kataku dengan pandangan penuh makna. Reno hanya tersenyum dan segera memegang tanganku dengan penuh kelembutan. “Terima kasih buat selama ini, Cinta. Kamu selalu ngasih semangat ke aku buat belajar lebih giat. Terima kasih juga buat sayangnya ke aku.” Aku hanya bisa tertawa mendengar kata-katanya.
“Sebentar lagi, kita bakalan jauh, kepisah, nggak bisa sama-sama lagi setiap saat kayak dulu.” Aku hanya tersenyum mendengarkan keluhannya, seakan mengetahui seberapa besar kesedihannya meninggalkanku.
“Ingat janji kita, Ren. Saling setia, saling percaya, jaga komitmen. Yang paling penting, harus bersikap lebih dewasa lagi.”
“Iya, maafin aku, Sayang, kalau aku selama ini egois ke kamu. Janji ya, bakal selalu menjaga komitmen kita.”
Senyuman yang terpaut pada wajahnya dan wajahku, mungkin sebentar lagi akan sirna terhapus waktu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah dua bulan, dan hampir tiga bulan, kami menjalani Long Distance Relationship, hubungan jarak jauh yang terkadang memberikan nikmat maupun siksaan. Awalnya, semua berjalan mulus seperti yang seharusnya. Namun sebulan belakangan, aku merasa dirinya dikejar ‘death’line yang sangat bengis, yang memaksaku untuk terpaku diam tanpa disuruh tahu mengenai kabarnya. Reno sama sekali jarang memberikan kabar untukku. Bahkan, untuk sekedar bertanya sedang apa pun, kuantitatif pun bisa aku menangkan.
Sampai suatu hari, aku membuka pesan masuk yang ada di akun jejaring sosialnya. Kulihat percakapan antara Reno dengan perempuan yang sangat akrab, mesra, dan memiliki janji untuk saling bertemu. Tanpa terasa air mataku mengalir di pipi. Semudah itukah dia berpaling dariku? Atau ini hanyalah paparan keakrabannya saja dengan teman kuliahnya, pikirku. Kuyakinkan diriku sendiri untuk tetap mempertahankan sang pemenang. Cinta.
Hingga saat Reno kembali ke kampung halaman dan memutuskan untuk bertemu di kafe bandara sore hari, keceriaanku tidak setara dengan yang sebelumnya.
“Gimana kuliahnya, enak? Kok jarang banget ngasih kabar?”, tanyaku.
“Emang sibuk banget kok. Kebetulan aku ikut organisasi disana. Jadi ya…gitu deh.”
Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Dengan sigap ia mengangkat panggilan dan menjauhkannya dariku. Aku pun mulai menaruh curiga hingga dia kembali.
“Siapa?”, tanyaku datar.
“Saudaraku. Katanya ada masalah penting di rumah. Aku mau pulang dulu.” Reno meninggalkanku tanpa sepatah kalimat sayang yang ia cuatkan. Haruskah aku memaafkan, lagi?
        -----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semenjak kepulangan pertamanya itu, perubahan drastis terjadi lagi. Bahkan lebih ‘anjlok’ dari yang terdahulu. Reno selalu marah-marah, mengeluarkan caci dan maki apabila ia lelah dalam menghadapi aktivitasnya. Serendah itukah posisiku untuk dijadikan tempat pelampiasan amarahnya? Bahkan, seringkali apa yang dikatakannya kepadaku, berbeda dengan apa yang ia tulis di pena maya akunnya. Aku pun berfikir, apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Hingga dalam setiap pertengkaran, dirinya selalu mengandalkan kata ‘putus’ di setiap argumennya. Dan dengan bodohnya aku menitikkan air mata untuknya, dan tidak menyerah untuk berhenti memaafkan sifatnya.
Hingga sampai suatu saat, itulah akhir dari kesabaran yang diberikan Tuhan kepadaku. Dengan jelas kulihat percakapannya dengan wanita yang sama, membubuhkan tanda titik dua bintang dan kata-kata sayang. Terasa sayap-sayap yang telah melekat di hati, patah dengan kerdipan mata. Mengapa Reno tidak menghapus pesan pengkhianatannya dariku? Apakah dia sengaja ingin menunjukkan?
Segera kuserang dia dengan ribuan kata-kata yang berusaha memojokkan dirinya. Dan hanyalah sebuah khayalan belaka, bila ia membalasnya dengan jawaban-jawaban mutiara.
“Terus maumu apa, Cinta? Putus? Haha. Kamu selalu saja menyalahkan orang lain. Kamu nggak pernah lihat dirimu sendiri kayak gimana. Kamu nyuruh aku jaga komitmen tentang percaya dan setia, kamu pikir kamu udah bener ngelakuinnya? Kamu mau putus? Yaudah putus aja silahkan!”
Aku pun membalas pesan singkatnya diiringi jeritan hati dan buliran air mata yang menetes, namun mantap kulakukan.
“Aku lelah, Reno. Aku capek harus menunggu kesadaranmu. Aku capek nunggu kamu buat ngembaliin kepercayaanku kayak dulu. Semua udah berubah. Kenangan-kenangan manis udah buyar, membekas jadi sakit. Aku capek kamu egoisi, aku capek ngalah terus, aku capek kamu rendahin terus. Silahkan Reno, asal itu bikin kamu bahagia, aku ikut bahagia lihat kamu menemukan yang lebih baik dari aku. Asal, lepasin aku. Lepasin aku dan semua kenangan yang ada di pikiranmu. Biarkan kita putus, seperti yang seharusnya kamu katakan. Selamat berbahagia dengan kata putus yang selalu kamu agungkan.”
Dengan mantap aku mengirimnya. Aku hanya bisa terdiam sembari menahan luka. Kata-kata sayang dan permintaan maaf yang ia lontarkan sekarang, tak beda halnya dengan sebuah lubang yang berusaha menjebak mangsa untuk jatuh ke lubang yang sama. Ternyata aku salah, ternyata aku tidak serapuh yang kukira. Ternyata aku bisa melewati lubang kesakitan yang selama ini menjeratku, memenjarakan hatiku, membentuk bingkai pengkhianatan. Komitmen tentang kepercayaan dan kesetiaan, hanyalah sekedar kabar burung yang ia janjikan. Kesetiaan, yang mengingkari kejujurannya sendiri. Dan kepercayaan, yang mengingkari keyakinannya sendiri. Mampukah aku memaafkannya, lagi?


TAMAT

English Poem (created on May 19th, 2013)


Eclipse
By : Citra Agusta PA

To arrive
To great
To stare me
Although  just in shadow
Of you…                                                         

Your shine, give some lights
Lights to make a spirit
My dreams…
Like hug the moon
Hope you stare at me
To closer with me…

Hold my heart!
Open it
And see deeply
How I can even standing upright
Definitely..
Waiting your brightness come closer after others
How I lay down on the flower park
Faithfully...
Closing my eyes, hoping the light open them
You…my eclipse…

My devil admonishes
How a foolish girl you are!
You’ve missed your time for eclipse?
My angel too
How a brave girl you are!
Stay on this and the bright will come to you…

All stars praise to you
Glittering around you
But I’m still standing

Expect you to let your light down on me…

Puisi Edisi Hari Kartini ( created on April 21th, 2013 )

Hei, Kartini Masa Kini!


Wahai Ibu Kartiniku..
Personamu, geloramu, menghaturkan aroma loyalitas sang dara
Kridamu, menumbangkan kemakaran kolonialis tempo dulu
Emansipasimu, membangkitkan repih reputnya sukma kaum hawa

Namun, sang global telah berputar arah
Perjuangan seakan bertepuk sebelah tangan
Impresi agungmu terjelma dalam seremonial belaka
Para hawa beradu kirana, mengenakan kebaya dengan eloknya
Itukah, intensi nyatamu, wahai Kartini masa kini?

Kartiniku, Kartini masa kini
Terlampau lama kalian ternina bobokkan
Terlena dalam ayunan sangkala penjarahan
Penjarahan integritas yang berkesinambungan
Mematikan pribadi teruna perlahan


Dimana antusiasmu, ketika sang Kartini berjuang menegakkan edukasi hingga titik darah penghabisan?
Dimana ambisimu, tatkala sang Kartini menakhlikkan emansipasi teruntuk engkau, wahai Kartini masa kini?
Dimana lagi? Dimana sekarang, takrif ‘habis gelap terbitlah terang’?
Yang tertinggal, hanyalah moral bangsa dalam aforisme ‘habis terang terbitlah gelap’

Hei, para Kartini masa kini!
Bertabiatlah bagai tutur kata sang Ibu Emansipasi
Mendamel kados satria, ngasta kekah prinsip ugi punaginipun
Giat menggali ilmu, demi progresifitas kaliber bangsa…

Hei, Kartini-Kartini globalisasi!
Ampun ngabrit njejegaken kekasinggihanan pedoman nagari
Mboten gampil goyah lebet panyalira
Ndamelaken bumi gemah ripah loh jinawi
Pantang menyerah menegakkan moral bangsa
Membangun kemakmuran dan kemuliaan negara...




Puisi ( My Pure Creation )

Harapanku, Teruna Indonesia

Terlampau lama kita ternina bobokkan
Terlena dalam ayunan sangkala penjarahan
Penjarahan integritas yang berkesinambungan
Mematikan kepribadian bangsa perlahan

Kebakiran ide adalah adicitanya
Kuat serta penuh gelora adalah raganya
Loyalitas dan totalitas adalah komitmennya
Ya, itulah generasi teruna

Namun, sang global telah berputar arah
Perjuangan seakan bertepuk sebelah tangan
Keinginan duniawi yang merubah
Kejujuran, kebangkitan, seakan berpindah tangan

Dimana lagi sang pengendali diri?
Ketika korupsi, kolusi, nepotisme, hingga krisis moral krah putih berdasi telah merajai
Tawuran pelajar, trafficking, seks, narkotika, semakin silih mewarnai
Drama politik menjadi sorotan dan tontonan, bukan tuntunan
Kata belajar hingga birokrasi sudah tidak dihargai
Degradasi moral menyupremasi

Khalayak meriuh-rendah
Siapa si dalang intelektual?
Semua seakan terdiam membuncah
Banyak memangku enigma yang janggal

Mereka, para awam turut bicara
Sang penerus bangsa, kenapa engkau tega menodai budi negara
Engkau, pemimpin-pemimpin negeri tercinta
Begitu rapuh, repih, reputkah fikirmu memaknai rintihan jiwa kita?

Ketika barung-barung religi telah didirikan
Berharap menjadi benteng pertahanan moral
Namun banyak kaum yang tak memperdulikan
Hanya dianggap sebagai tempat terlampau formal



Harapanku…
Tanggung jawab adhep kuripan pribadi lan masyarakat
Laksana pribadi yang terhormat
Aja dadi gembelengan
Penerus bangsa yang tak berakal nian
Telinga enggan mengindah petuah kebajikan
Mulut tak lagi bertutur keazizan

Harapanku, pemuda berida..
Andhap penggalih lebet jiwa
Mboten gampil goyah lebet panyalira
Menanam jujur dan rendah hati dalam jiwa

Tetap pendirian menegakkan benteng moral bangsa

Kamis, 21 Agustus 2014

Demi Lovato - Let It Go (from "Frozen") [Official]

Demi Lovato - Really Don't Care (Official Video) ft. Cher Lloyd



 Let's check this an amazing rockin' unnusual video!

Demi Lovato - Neon Lights (Official)

Demi Lovato - Give Your Heart a Break (Official Video)

Demi Lovato - Made in the USA (Official Video)

Demi Lovato - Skyscraper


The new song Skyscraper by is pure perfection. Her voice is one of the BEST undiscovered beauties. Let's play above.

Demi Lovato - Heart Attack

Cerpen ( My Pure Creation )

Habis Gelap Terbitlah Terang

Sinar matahari di hari Senin terasa begitu menusuk tajam hingga retina mataku.Tapi entah mengapa, aku selalu siap sedia untuk berangkat ke sekolah. Maklumlah, aku dapat mengenyam pendidikan atas Bantuan Operasional Sekolah gratis di sekolahku, Madrasah Ibtidaiyah. Bukan hanya aku, tapi masih terdapat beberapa siswa-siswi yang kurang mampu yang mendapatkan hak sama denganku. Sekolahku memang tergolong sekolah rata-rata. Berstandar Nasional, akreditasi B dari pemerintah pun cukup membanggakan dalam wilayah pedesaan.
Di sekolah yang terdiri dari sekolah pagi dan siang itu, aku mendapatkan jadwal masuk pagi. Sehingga saking semangatnya, pagi-pagi buta aku segera melaksanakan ibadah, lalu menjalankan rutinitas sehari-hari, dan berangkat sekolah yang tak jauh 300 meter dari ‘gubuk tua’ku..Namun, setiap pagi jalanan terhambat karena di ujung gang sekolahku terdapat Sekolah Dasar Negeri yang cukup terkenal, bermutu, dan elegan. Tak begitu heran bila banyak pemilik tanah-tanah desa, juragan, bahkan pejabat lokal menyekolahkan anaknya di situ.Terkadang aku berharap, apakah suatu saat aku bisa bersekolah di sekolah negeri? Ah, rasanya begitu tabu. Mengingat ekonomi keluargaku dan ‘siapa’ aku, terkadang membuatku pesimis.Tapi aku bangga, aku sudah dapat bersekolah sekarang.
Di ujung jalan, kulihat sosok bocah laki-laki dengan gaya mentereng, melangkah perlahan ke arahku. Antonius, tetangga dekatku yang kebetulan bersekolah di Sekolah Dasar Negeri itu.“Selamat pagi, Anton. Berangkat sekolah bareng yuk!”, sapaku dengan senyum yang kutebar. Ia acuh tak acuh melihatku, seraya berkata, “Huh, tahu diri dong, kamu sekolah dimana, aku sekolah dimana. Nggak usah sok kenal deh, aku nggak suka kamu deket-deket aku terus, dasar anak turahan!”. Ia pun pergi meninggalkanku, dengan gaya khasnya yang mendongakkan kepala sambil berjalan, pantaslah saja ia seperti itu. Maklumlah, putra tunggal dari orang nomor satu di desaku. Ia seorang anak piatu, hampir sama denganku sebagai seorang anak yatim. Namun, hanyalah anak-anak orang terpandang yang pantas berteman dengannya, terkecuali aku juga, seorang anak turahan yang hanya beruntung mendapatkan kesempatan bersekolah. Aku sadar itu.
Terdengar deritan bunyi bel sekolahku dari kejauhan, aku segera lari dan masuk ke kelas.
“Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarokatuh..Selamat pagi murid-muridku..”
“Wa’alaikum salam warrahmatullahi wabarokatuh..selamat pagi Ibu Guru..”
“Alhamdulillah, kita semua masih diberi kesempatan bertemu dan menuntut ilmu dengan keadaan sehat wal afiat.”
Sontak satu kelas menyerukan ‘Amin’ kepada Bu Naini. Ia pun segera memulai pelajaran dengan membaca surat Al Fatihah dulu, disambung dengan doa sebelum belajar. Pelajaran pertama pun dimulai.
“Anak-anak, pada pelajaran pertama Agama Islam ini, Ibu akan membahas tentang sikap-sikap terpuji dalam kehidupan sehari-hari, yang pertama adalah tentang kejujuran. Siapa dari kalian semua yang masih berbohong kepada orang tua, ataupun orang lain? Curang? Tidak jujur?”, pertanyaan Bu Naini seketika memecah kedok para muridnya. Semua pun tertawa dan saling mengacungkan jari, termasuk aku. Bu Naini hanya tersenyum dan segera meredam kegaduhan para muridnya. “Bagus. Dengan kalian mengacungkan jari dan mengakui perbuatan kalian, berarti kalian telah melakukan suatu kejujuran, anak-anakku. Jajal kowe Le Ihsan, contoh ketidakjujuran apa sing mbok lakoni?”, Tanya Bu Naini seraya menudingkan jari ke arahku. “Terkadang berbohong kepada orang tua, Bu.”, sahutku perlahan. Terdengar beberapa anak saling terkikik. Bu Naini pun mulai berbicara kembali, “Baik. Terkadang sesuatu yang kita anggap kecil ternyata memiliki akibat yang cukup besar. Bagi kalian, berbohong atau hal lainnya sebagai ketidakjujuran dipandang sebagai hal yang biasa. Tetapi apabila kata ‘biasa’ itu berubah makna menjadi ‘kebiasaan’, maka otomatis karakter kita telah terbentuk menjadi seorang pembohong. Contoh nyata saja di era pembaharuan sekarang ini, banyak pejabat dan penguasa yang justru mengharamkan pekerjaannya dengan cara korupsi uang rakyat. Dengan santainya ia menikmati uang hasil dustanya itu demi ego semata. Dimanakah letak kecerdasan moralitas, emosional, dan akhlak agama mereka? Untuk apa mengasah otak dan logika diri hingga cerdas, bila dimanfaatkan ke dalam direksi yang menyesatkan kita. Dijelaskan pada Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 70 dan 71, Allah berfirman, Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung. Apakah kalian ingin mendapatkan siksaan dari Allah? Apakah kalian ingin dikatakan sebagai pembohong, pendusta besar?”
Dengan antusiasnya para murid berteriak, “Tidak ingin, Bu Guru!!!”
“Maka dari itu, Le, Nduk, janganlah kita mempertajam ilmu perihal ilmu duniawi semata. Namun ketahuilah, ilmu yang akan berguna untuk kalian, di dunia hingga di akhirat nanti, hanyalah ilmu agama. Akhlak kalian, keimanan dan ketakwaan kalian, wajib untuk kalian tingkatkan. Apalah guna memiliki otak yang cerdas di segala bidang, bila iman dan takwa kita sangat lemah dan mudah tergoda iblis. Naudzubillahi min dzalik.”.Semua siswa mengulang lafadz terakhir yang diucapkan Bu Naini. Beliau segera melanjutkan materi pembelajaran dengan pelatihan soal-soal. Para siswapun menyimak dan belajar dengan keseriusan yang mendalam.
----------------------------------------◙◙◙◙◙◙◙◙◙◙----------------------------------

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Derit bel sekolah yang seakan ingin segera ‘diobati’ itu berbunyi. Para siswa Madrasah Ibtidaiyah segera berlarian, berhamburan keluar, berlomba untuk masuk rumah paling cepat. Tak jauh dari situ, terlihat siswa-siswi Sekolah Dasar Negeri yang juga ikut menjadi indikator penghambat jalan. Dalam waktu 3 menit aku sudah sampai di garis finish, yaitu rumahku. Belum apa-apa, ibuku segera menghampiriku dengan tergesa-gesa.“Le, tulumg yo masakan iki terke ndisik ing omahe Pak Restu, bapake Antonius. Soale wis dipesen diutus cepet iki mau. Ibuk ameh ngentasi kumbahan, radha mendhung.”
“Lha kula badhe Sholat Duha, Buk. Kula sholat Duha rumiyin, nggih!”
“Ya Allah, Ihsan. Kowe mung ngeterke pirang menit tok tha? Lagian sholat Duha sunnah wae kok, ra perlu kesusu! Mampir mushola sebelah wae mengko yo! Mengko didukani Pak Restu. Ibu mengko ora isa kerja meneh!”
“Nggih Buk, nggih. Budhal rumiyin.” Sambil mengambil masakan yang telah dibawakan Ibu sebelumnya, aku bergegas pergi menuju ke rumah Pak Restu, seorang pejabat terkaya di desa yang sekaligus ayah dari Antonius.
Rumah yang memiliki luas berkisar 2 hektar tersebut tampak sepi dari luar. Kulihat Antonius baru saja keluar dari rumahnya.“Hey, Anton. Ayahmu ada di rumah?”, tanyaku. Ia hanya membalasku dengan sebuah seringai mengolok, entah apa yang sedang ia maksudkan kepadaku. “Ada di dalam, masuk saja.”, jawabnya singkat lalu pergi menuju pelataran belakang rumah. Aku hanya termangut-mangut, dan segera bergegas masuk ke rumahnya, yang kebetulan rumah itu memang sedang dalam keadaan terbuka.
“Assalamu’alaikum…” Tak terdengar jawaban apapun dari dalam. “Assalamu’alaikum, Pak Restu…” Salam kedua pun belum dijawabnya. Sehingga ketika salam ketiga yang kuucapkan belum juga ada respon, aku bermaksud untuk kembali saja ke rumah. Namun, situasi telah merubahku. Aku merasakan getaran yang begitu hebat pada ‘kantung pribadi’ku. Aku mencoba untuk menahan sebentar, sekiranya bila si tuan rumah keluar dari kediamannya. Tapi tak ada tanda-tanda. Segera aku meninggalkan manci masakan di meja ruang tamu untuk pergi ke kamar kecil mushola yang kebetulan berada di sebelah kiri rumah Pak Restu.
Ketika aku kembali ke rumah Pak Restu, terlihat beberapa orang berkerumun di depan rumahnya. Aku cepat-cepat menghampiri, sekaligus ingin menyerahkan masakan ibu secara resmi.
“Maling sialan!! Berani-beraninya mencuri uang di laci lemari rumah!! Saya yakin , ini pasti perilaku anaknya Bu Hesti!!!”, seruan Pak Restu begitu nyinyir di telingaku dan gelombang suaranya terasa begitu menghantam dahsyat di hatiku. Aku dituduh mencuri uang Pak Restu.
Tiba-tiba salah seorang warga yang melihatku sedang berdiri termangu di halaman rumah Pak Restu, seketika berteriak, “Itu dia malingnya!!!” Bagaikan berada di dalam medan perang, semua warga yang bergumul segera menoleh ke arahku, seakan musuh telah berhasil ditekuk. Aku bingung harus bagaimana. Panik, sedih, ataukah tak tahu apa-apa?
Beberapa orang dengan kasar menyeretku ke Pak Restu. Aku mencoba untuk berontak, tapi cengkeraman mereka terlalu kuat. Kulihat ibuku sedang menangis dibawah Pak Restu dengan tatapan nanar. Aku tidak menyangka, sesuatu yang sama sekali tidak aku ketahui, justru menjadikan aku seperti sampah masyarakat. “Jawab saja bocah kecil. Kau kan yang mencuri uangku di laci lemari itu? Dengan pintarnya kau mengambil sebagian dari seluruh uangku supaya curianmu tidak kentara! Tapi bodohnya kau yang lupa menutup kembali laci lemariku dan kau lupa untuk mengambil tempat makananmu yang tak tahu dosa, sehingga ikut dipersalahkan. Dasar bocah kecil tak tahu aturan!!”, keluar makian panjang lebar berlogat Batak yang diucapkan Pak Restu.
“Demi Tuhan, Pak Restu. Demi Allah. Demi Maha Penguasa Langit seisi-isinya, saya tidak mencuri uang anda. Saya sama sekali tidak pernah mempunyai pemikiran begitu dalam hidup saya. Saya tidak tahan untuk pergi ke kamar kecil. Karena tidak ada jawaban dari dalam rumah, saya pergi ke mushola untuk buang hajat, dan meninggalkan makanan itu, Pak!”
“Tidak usah banyak alasan, bocah kecil!! Ada dua saksi yang mengetahui kau masuk ke rumahku secara seenaknya. Anakku, dan tukang kebunku! Dan kata mereka, tidak ada lagi orang yang masuk ke rumah setelah kau. Kau pikir mereka pembohong? Jadi, kaulah pencurinya!!! Kembalikan uangku! Pintar sekali kau, Nak, membohongi orang banyak!!”
Bagaikan mesin otomatis, para warga berteriak dan mengeluarkan kata-kata umpatan, caci-maki, kepadaku dan juga ibuku. Aku menangis melihat ibuku yang semakin menangis menjadi-jadi. Aku diseret keluar, dan dibawa ke suatu tempat di mana aku sudah tidak sadarkan diri lagi. Namun, masih terdengar lengking tangisan ibuku yang menyayat hati, seakan memanggilku untuk kembali dari kejauhan. Jauh..jauh..hingga nyaris tak terdengar lagi.
-----------------------------------◙◙◙◙◙◙◙◙◙◙--------------------------------

Kurasakan goncangan hebat yang mampu membangunkanku dari ketidaksadaran diri. Terlihat dua orang paruh baya yang tak kukenal di depanku, mengenakan seragam dengan warna perpaduan antara coklat dengan krem, dihiasi dengan topi di kepala mereka. “Sudah sadar, Ihsan? Mari kami antarkan ke ruang.”, mereka membantuku untuk bangun dengan setengah menarik kencang. Siapa mereka? Darimana  mereka tahu namaku? Ruang apakah yang mereka maksud? Pikirku. Aku pun segera digelandang keluar. Terdengar deru mesin pengetik yang semakin dekat, diiringi dengan pemandangan mengerikan di sisi kanan dan kirinya. PENJARA. Benar, aku berada di penjara! Aku dipenjara! Dulu, aku sering mengantarkan pesanan makanan penjaga-penjaga ini dari ibuku, di sini. Dan sekarang, aku menjadi penghuninya? Rasanya aku ingin pingsan lagi, tapi aku harus tetap bisa menguasai kesabaran, emosi, dan keadaan. Terlihat Pak Restu, Antonius, dan Pak Doni, tukang kebun Pak Restu. Mereka seperti sedang ditanyai seorang polisi tentang peristiwa yang dialami Pak Restu. Mengapa mereka menuduhku dengan mudahnya? Seakan aku seperti pencuri ulung yang terkenal di desa. Mengapa mereka begitu tidak jujur? Siapakah dalang di balik sandiwara semua ini? Tegakah Pak Restu memenjarakanku, melanggar aturan hukum yang tidak memperbolehkan anak di bawah umur unutk merasakan pahitnya hidup di balik jeruji besi? Ingin sekali aku menghampiri mereka, menyerukan kata umpatan. Tapi apa daya, ketika jabatan lebih berkuasa. Sebagai hamba Tuhan, aku hanya bisa bersabar dan mengucap kata istighfar, seraya menunggu turunnya keadilan Tuhan.
Aku pun masuk ke dalam ruang jeruji besi. Sebuah tempat yang bersuhu dingin, gelap, berdebu, dan terkadang terdapat suara-suara aneh di atap. Aku segera dilempar masuk oleh penjaga ruang tahanan itu, kemudian berkata, “Selamat menikmati buah dari hasil tanamanmu, Nak.” Mereka pun menutup pintu. Deritan besi pintu yang berkarat semakin membuatku bergidik nyeri.
Tak lama berselang, Pak Restu, Antonius, dan Pak Doni berdiri dari ‘kursi pertanyaan’. Mereka menghampiriku. “Bocah kecil, selamat bersenang-senang atas buah dari perilakumu itu. Kuhitung, kau mencuri uangku sebesar 2 juta dari 690 miliar yang aku punya. Hebat sekali kau, Nak.” Aku hanya bisa terdiam dan menangis menggelayuti besi pintu sel yang ada. Rasanya lidahku begitu kelu, sakit untuk berucap. “Kalau kau dan ibumu tidak bisa mengembalikan uangku segera, hukum akan lebih lama memenjarakanmu!!!”, Pak Restu pun pergi meninggalkanku diiringi dengan Antonius yang melemparkan seringai ejekan ke arahku, dan diikuti dengan tatapan enggan pada Pak Doni. Mengapa Pak Doni justru terlihat takut kepadaku? Hanya Tuhan yang mampu menjawabnya.
-----------------------------------◙◙◙◙◙◙◙◙◙◙--------------------------------

Kuingin doaku mengalir
Menuju sebuah pangkal
Bermuara ke pengharapan, yaitu pengkabulan
Kuingin kalimat syahadat selalu terlafadzkan di bibir ini
Menuju pada suatu kesimpulan
Bermuara ke pengharapan, yang bernama ampunan

Sudah hampir berapa banyak bulir air mata yang terjatuh di ujung penampang wajahku .Mereka terus terjun dengan mudahnya, diiringi dengan pekikan tertahan. Tuhan Mendengar, dan Tuhan Melihat, sehingga Ia memberikanku petir di malam itu untuk berdebat dengan rajutan doa yang aku uraikan. Di luar, terdengar derap langkah sepatu para penjaga jeruji besi. Ternyata benar, mereka datang untuk menyerahkan santapan malam para ‘pasiennya’.
“Jatah makan malammu, Nak, makan seadanya, dan jangan banyak bicara, Pencuri.”
Begitukah julukan yang mereka embel-embelkan padaku? Setiap mendengar kata tersebut, kesabaran hatiku terasa ingin goyah, memberontak seketika. Tajamnya pisau takkan sanggup diibaratkan dengan kepedihan luka di hati ini. Namun apa daya, hukumlah yang lebih berkuasa. Ya, aku paling tidak suka bila dianggap sebagai pencuri, karena aku memang bukan seorang pencuri!!!!! Betapa kerdil moralitas hakiki para penegak hukum di Indonesia, yang lebih mengobralkan uang fana ketimbang kejujuran.
Sudah hampir sepuluh malam aku mendekam di ruang tahanan, dan sudah hampir sepuluh malam ini tidak ada satu pun orang yang datang mengunjungiku di sini. Guruku, teman-temanku di sekolah, teman bermainku di lingkup tetangga, bahkan ibuku sendiri tidak datang untuk sekedar mengetahui kabarku di sini. Di mana mereka? Mengapa mereka begitu tega kepadaku? Apakah mereka sudah tidak menganggapku ada? Apakah mereka benar-benar tidak mempercayaiku? Seakan dunia ini memang tak adil, karena aku hanyalah seorang bocah laki-laki kecil kelas enam SD yang berasal dari keluarga menengah kebawah. Begitu sakit hati ini menelan pil kepahitan bahwa tidak ada satu pun orang yang datang memberiku semangat dan dorongan untuk tetap kuat bertahan hidup di sini. Aku hanya bisa menangis dan memanjatkan doa lewat malam-malam suram yang telah aku lewati sepanjang ini.
---------------------------------------◙◙◙◙◙◙---------------------------------------

“Bangun, Nak. Waktunya sarapan pagi.” Terdengar teriakan khas lelaki paruh baya yang menjaga ruang tahanan. Dentingan piring dan sendok yang dilempar semakin membangunkanku dari mimpi buruk. Di dinding, jam menunjukkan pukul 07.00 WIB. Aku sadar, aku bangun kesiangan. Untung saja tadi pagi sholat Subuh telah aku segerakan. Dengan lahap kumakan sarapan pagi yang ala kadarnya. Belum lama aku menyantap, terdengar derap langkah penjaga  menuju ke arahku. “Nak, ada tamu pertama untukmu.” Ia pun membuka pintu yang berderit mengerikan. Aku dibawa menujut tempat tamu dengan kepalang senang.
            Sosok wanita berkerudung keibuan dan sejumlah anak-anak sebayaku yang langsung saja kukenal. Bu Naini dan teman-teman! Aku berlari dengan riang lalu memeluk mereka, terjadi adu tangis yang menerpa. “Cuma lima belas menit! Mumpung hari Minggu.”, teriak penjaga ruang tahanan. Aku tak begitu memperdulikannya. Mungkin aku terlalu bahagia dengan kehadiran mereka.
            “Alhamdulillah..akhirnya Bu Naini datang juga bersama teman-teman. Saya sangat senang sekali Bu, karena baru pertama kali ini saya dikunjungi oleh orang luar. Bahkan ibu saya belum menjenguk saya, Bu.”, curhatku dengan isak tangis yang mendalam.
            “Maafkan kami, Ihsan. Kami tidak bermaksud melupakan kamu. Di desa, kami, termasuk sekolah, mendapatkan hujaman keras dari Pak Restu selaku Kepala Desa. Sekolah tidak bisa berbuat apa-apa ketika malu pun ditanggung. Tetapi Bu Naini dan teman-temanmu tidak akan pernah malu memiliki murid dan teman yang cerdas seperti kamu. Kami percaya padamu, Nak.”, jelas Bu Naini diiringi dengan tangisan anak-anak lain. “Oh iya, Ihsan. Ada kabar burung yang mengatakan bahwa Pak Restu tersandung kasus korupsi. Dan uang yang ia gunakan sebagian merupakan hasil korupsi. Tapi entah kabar itu benar atau tidak, yang jelas berita itu begitu gempar di desa. Percayalah, Tuhan akan segera menurunkan keadilan-Nya, dan semua orang akan tahu siapa dalang dari peristiwamu ini. Akan terlihat siapa yang jujur, siapa yang tidak, Nak. Ingat kata Ibu, kejujuran adalah hal terindah yang mampu membawa manusia masuk ke arah jalan cahaya yaitu jalan kebenaran.” Segera kami berpelukan kembali. Anak-anak yang lain masih menyerukan tangisan masing-masing. “Percaya, Ihsan. Allah akan memberikan balasan buat siapa yang tidak jujur kepada diri sendiri, orang lain, maupun Allah!”, seru temanku, Vita, dengan suara cemprengnya yang khas. Semakin terdengar tangis kerinduan dari mereka, semakin memaksaku untuk bertanya. Tuhan, kapankah aku bisa pulang?
            Di balik acara temu kangen yang terjadi, masuklah sesosok wanita yang sangat amat kukenal. Ibu! Akhirnya seseorang yang paling kunanti-nanti telah hadir di depan mata, seseorang yang paling aku kecewakan karena tragedi yang menimpaku. Sosoknya tampak pucat, bermata sayu sembab, dan terlihat sangat lelah. Segera kupeluk sosok ibuku. “Ini dia hadiah dari kami, Ihsan. Selama ini ibumu tidak bisa menjengukmu karena beliau memang tidak keluar rumah sama sekali. Ibumu takut dengan apa kata tetangga. Ibumu juga belum siap untuk melihatmu menangis.” Pernyataan Bu Naini membuatku semakin tertusuk. Apa salah ibuku, Tuhan? Hingga ia harus mengalami derita pahit seperti ini. Dan semua itu gara-gara aku!
            “Buk, Ihsan nyuwun pangapunten. Ihsan cuman saged nguciwani. Ihsan mboten wonten ginane kangge Ibuk. Naming Demi Allah, Buk, Ihsan mboten kedah nyolong. Sumpah, Buk!”
            “Ora ngapa-ngapa, Le. Ibuk reti. Ibuk percaya yen kowe ora bakal nyolong. Ibuk ngerti Ihsan iku kayak piye. Ibuk njaluk ngapura Le, yen durung tau mrene njenguk kowe. Ibuk bingung ameh numpak apa. Yen metu, mesti Ibuk dirasan-rasani. Iki wayahe Ibuk mrene, sekaliyan ameh ngomong ning kowe yen Pak Restu kena kasus korpusi, Le. Lan sing paling penting yaiku ana suwara yen ana bocah SMP wingi ing daleme Pak Restu ameh wawancara kanggo tugas sekolah, iku ngerti ana bocah lanang cilik lagi mbukaki lemari karo njipuk artane Pak Restu. Jebule bocah iku putrane Pak Restu dewe, Antonius!”Serentak, aku, Bu Naini, dan teman-temanku terlonjak kaget. Seorang Antonius? Anak orang kaya nomor satu di desa, anak yang cerdas, murid dari sekolah ternama, justru mencuri?
            “Astaghfirullahaladzim. Apa leres Buk niku? Antonius? Anton kan putrane Pak Restu piyambak! Ibuk ngertos pawarta menika saking pundi?”
            “Bener, Le. Ing desa lagi rame kabare Antonius lan bapake iku. Bocah SMP sing jenenge, Maria, Bela, Wartini iku iseng ngrekam aksine Anton! Cah telu iku ora reti yen maksude Anton ameh maling. Videone lagi diwehke polisi sakwise reti berita tentang kowe gempar. Anton karo Pak Restu lagi diproses karo polisi pekara kasuse dewe-dewe. Ya Allah, Le, Gusti Allah pancen Maha Adil. Kowe bakal dibebaske yen wong lara iku sida dinyatake bersalah. Kowe ndang bali ya, Le!”
            Semua pun ikut menangis, tersenyum, terisak, dan entah perwujudan emosional apa lagi yang telah terbentuk setelah Ibuku menyatakan perihal jawaban dari Tuhan. Ya, kemungkinan aku akan segera bebas bila kedok Antonius dan Pak Restu terbongkar dengan cepatnya!
----------------------------------------◙◙◙◙◙◙◙◙◙◙----------------------------------------

Sinar matahari di hari Minggu terasa menusuk tajam hingga retina mataku, terkecuali dengan tusukan di hati yang telah terobati. Kuhirup udara sejuk di depan rumahku. Pertanda bebas. Tuhan memang selalu menunjukkan Kuasa-Nya. Kebenaran telah tersingkap. Pak Restu dinyatakan bersalah setelah menggunakan uang rakyat sebesar 690 miliar rupiah, berupa uang desa dalam kota dan uang relasi dengan desa tetangga. Ia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Sedangkan Antonius? Menikmati makanan-makanan istimewa di rumah, duduk-duduk sambil menonton TV, dan bermain Playstation sepuasnya. Tapi apalah arti sebuah kebahagiaan lahir, bila kebahagiaan batin telah sirna. Kehilangan kasih sayang seorang ibu, kehilangan sosok ayah, dan juga kehilangan kepedulian dari masyarakat sekitar. Semua orang di sekitar rumah, termasuk juga di sekolahnya, mencoba menghindar sehindar-hindarnya dari sisi Anton. Teman pengusir kesepiannya hanyalah Pak Doni, tukang kebun yang ia bayar mulutnya demi merahasiakan uang haram yang diambil hanya untuk dihura-hurakan saja. Untuk apa memiliki orangtua yang kaya bila tak pernah diberi perhatian?
Kini aku mengerti. Kekuasaan bisa membeli hukum untuk digunakan dengan sewenang-wenang, tetapi kekuasaan tidak akan bisa membeli kasih sayang. Rakyat bawah hanya bisa dijadikan korban dari sebuah tindakan yang tidak beradab. Kejujuran, yang terdengar hanyalah sepenggal kata sederhana, justru pengendali utama sebuah pribadi. Siapa yang akan menanam buah kebaikan, akan merasakan kemanisannya. Begitu pula dengan kejujuran.“Qullil haqqo walau kaana muuron”, Katakanlah kebenaran walaupun itu pahit adanya. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dari segala macam zat terkecil apapun di dunia ini.



TAMAT