Sabtu, 30 Agustus 2014

Cerpen : Berlian dalam Belukar (created on May 3th, 2014)

Berlian dalam Belukar

Jam menunjukkan pukul dua belas siang. Terik di kala itu begitu menyengat. Bara surya-Nya bahkan ingin sekali mendesak masuk melegamkan epidermis. Namun, tak sedikitpun aku  berniat untuk mengangkat tubuh dan mempersilahkan diri dan berkata ‘pergilah’. Saat itu adalah saat-saat yang aku tunggu selama satu bulan belakangan. Semacam ‘kopi darat’, mungkin.
Dengan seragam SMP dan belasan pita di rambut aku duduk di pinggir lapangan basket sendirian. Pikiranku melayang-layang sambil menorehkan senyum bila mengingat apa yang aku lakukan sekarang. Reno namanya. Ia adalah kakak kelas dua tingkat di SMAku yang baru ini. Perkenalanku dengannya sudah terjalin cukup lama. Melalui situs jejaring sosial lah kami berkenalan. Dia keren, baik, ramah, humoris, perhatian terhadap perempuan, dan bisa dibilang romantis. Namun sayang, harapan untuk bisa menemuinya baru tertambat sekarang setelah sebulan lamanya hanya bisa bercengkerama lewat akun dunia maya, dan ‘tertatih-tatih’ melewati Masa Orientasi Siswa selama tiga hari tanpa melihat batang hidung yang sama sedikitpun dengannya di sekolah. Terlihat bayangan anak laki-laki yang mendekat. Jangkung, senyum manis, namun serasa ragu untuk semakin mendekat. Ya, itu Reno! Segera aku bersiap-siap diri, lebih tepatnya berpura-pura diri untuk mengotak-atik Blackberryku yang tak bernyawa dalam sel keringnya.
“Cinta, ya?”, seloroh lembut itu diterima oleh telingaku dengan cepat, seakan menjebakku untuk tercekat. Aku pun menoleh. “Mmmm..iya..eh..Kak Reno, ya? Hehe.” Tawa ‘renyah’ku seakan menampar keadaan. Bagaimana bisa situasi ini sangat kontras dengan celoteh-celoteh ngawur di dunia maya selama sebulan lebih?
“Hahaha..nggak usah grogi gitu kali, Cin. Biasa aja. Kan kita udah akrab banget di dunia maya. Mmmm..udah nunggu lama ya?”, jawabannya seakan menjadi probem solver dalam keheningan yang hampir aku ciptakan. “Nggak sih, Kak. Cuman sepuluh menit kok. Walaupun panas sih.”, seruku sambil mengusap-usap tangan, sengaja memberi kode untuk mengajak ke tempat yang lebih teduh. Ia pun tersenyum singkat. “Oke, aku tahu kok. Aku mau ngomong dua hal. Yang pertama, maaf ya adek kelasku yang baru, kalau aku sengaja ngasih MOS tambahan buat kamu. Dan yang kedua, jalan yuk.”
Aku merasa Si Cupid dengan sigap mengarahkan panahnya menuju tepat di palung hatiku. Kata-kata yang sederhana, simple, namun berhasil ‘meledakkan petasan’ di dadaku. “Ah, nggak apa-apa kok, Kak. Buat jawaban yang kedua, aku ngikut aja deh.”, jawabku sambil menahan senyum yang berlebihan. Reno segera melepaskan senyum dan tawanya, diiringi dengan alunan kaki yang santai. Di sisi lain, aku berharap suatu saat kaki itulah yang berlari untukku.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah dua pekan terakhir aku berhasil mewujudkan ekspektasiku di dunia nyata. Berangkat dan pulang sekolah bersama, nonton film bersama, makan siang bersama, dan melontarkan celoteh-celoteh ngawur yang dahulu hanya bisa aku serukan di dunia maya. Kebersamaan ini sudah tidak asing lagi bagi teman-teman kelasku, maupun kakak kelas yang lain. Aku hanya bisa menjawab semua interogasi teman-temanku maupun lirikan-lirikan para kakak kelas perempuan dengan morse senyuman. Ketidakpedulianku dengan makna dari kebersamaanku bersama Reno selama ini pun melahirkan opsi kontras, apakah dia mencintaiku, atau tidak. Hubungan nyata yang telah terlihat di depan semua orang pun tidak bisa dipertahankan hanya dengan status ‘Kakak-Adik’. Perlahan-lahan aku mulai menjauh darinya, dan mulai melebarkan egoku lewat kutipan-kutipan risau di akun jejaring sosial. Dia pun juga semakin menjaga jarak denganku. Waktu pun memakan hari, semakin lama status itu pun tertelan masa. Dan bahkan lenyap seketika.
Hingga kalender menunjukkan tanggal sejarahku. Ulang tahunku yang ke-15. Kubuka dengan mata sipit perlahan-lahan di tengah malam, membaca satu-persatu pesan singkat yang telah terkirimkan ke nomor selularku. Begitu pula dengan pemberitahuan yang ada pada akun jejaring sosialku. Tak ada satu pun yang membuatku membuka mata secara bermakna. Tak ada pesan dari Reno. Kututup handphoneku dan kembali tidur hingga ufuk fajar mengetuk langit untuk membuka cakrawalanya.
Di sekolah, aku pun mencoba menepis segala ucapan riang teman-temanku dengan senyuman kecut. Tak ada yang perlu diselamati, pikirku. Biarlah umur ini bertambah, toh tak akan mampu menyingkirkan kekecewaanku akhir-akhir ini. 
Dan hari pun terlalui hingga dering bel sekolah mengumandangkan kekuasaannya. Menandakan saat-saat yang paling kunantikan telah tiba, pulang sekolah. Tiba-tiba, cengkeraman yang kuat meraih pergelangan tanganku dari belakang.
“Kak Reno. Ngapain?”, jawabku datar.
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, sebentar aja. Boleh kan?”
“Oke.”
Dengan tanpa permisi, ia meraih tanganku dan membawaku ke suatu tempat. Langkahnya pun berakhir di taman.
“Ada apa sih, Kak? Biasa aja kali, nggak usah jalan sambil megang tanganku kenceng-kenceng gini.”, ujarku kesal. Ia sama sekali tak berkomentar. Mulutnya pun menganga lebar, seakan ingin membuka pembicaraan yang panjang.
“Cinta, aku tahu, kamu juga ngerasain apa yang aku rasain. Semua apa yang kamu omongin di akun kamu, atau semua sikap kamu akhir-akhir ini, aku tahu aku yang salah. Aku takut kamu bakal benci sama aku, karena aku cowok tolol yang penakut dan nggak tegas.”
“Maksudnya?”
Seketika, tangannya meraih tanganku dengan lembut dan hati-hati, merasa bahwa tanganku adalah sebuah bangunan yang kokoh namun rentan sekali rapuh.
“Aku tahu, kamu nggak nyaman sama kebersamaan kita dulu, tanpa status. Aku cuma takut, kalau aku jalan lebih lanjut sama kamu, kamu bakal tersakiti.”
“Tersakiti apa?”, tanyaku penasaran.
“Jujur, aku takut kalau kita harus LDR ke depannya. Aku takut itu bakal menyiksa kita besok.”, jawabnya dengan menunduk.
Kurasakan gejolak bahagia namun hancur di dadaku. Sejauh itukah ternyata harapan Reno kepadaku untuk merajut tali kasih bersama? Tapi kenapa dia harus melakukannya dengan cara seperti ini? Dengan cara yang seolah-olah siap membunuhku setiap saat ketika mengingatnya.
“Aku nggak tahu, gimana pola pikirmu. Tapi untuk apa kamu takut, Kak? Cinta itu kita yang menjalani, waktu hanya mengikuti alur kita, bukan menghakimi. Untuk apa kamu takut untuk berhubungan jarak jauh suatu saat, apa yang perlu dikhawatirkan? Semua tergantung dua subjek, aku dan kamu. Selama Kak Reno masih percaya kesetiaan dan komitmen, nggak ada yang perlu ditakutin.”
“Aku takut semua itu karena aku sayang kamu, Cin. Baru kali ini aku bisa akrab banget sama cewek, bahkan lebih.”
“Terus, sekarang maunya Kak Reno gimana?”
“Terus, kamu mau nggak jadi pacarku?”, sambungnya dengan lugas dan mampu memberikan dentuman hebat dalam jantungku. Dia berhasil membuatku tercekat dan tak mampu lagi mengeluarkan kata-kata. Sejenak kutarik napasku dalam-dalam, penuh arti, hanya untuk mengeluarkan satu kata sederhana namun penentu segalanya. Ya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Oktober. Bulan pembawa rezeki dan beribu penantian, bagiku. Setelah ayahku mendapat kenaikan pangkatnya sebagai stabilisator keamanan dan ketertiban negara, dua bulan sudah aku merajut tali kasih dengan Reno. Hubungan yang sangat indah tanpa pernah ada masalah. Dan di bulan Oktober juga, Reno akan berulang tahun yang ke-17. Dengan surprise kecil di malam hari, sudah cukup merangkapi kebahagiaanku dengannya. Membentuk simbol cinta yang disusun dengan 17 lilin bukanlah pekerjaan yang mudah tanpa bantuan teman-teman terbaikku. Duduk berdua di tengah lilin-lilin kecil yang mengelilingi, telah menambah rasa cintaku padanya, begitu pula dengannya.
Hingga Oktober pun berganti menyapa kawan-kawannya. Tiga bulan, empat bulan, lima bulan, hingga enam bulan. Entah mengapa, Reno berubah drastis menjelang Ujian Nasional. Sifat pemarah, gampang tersinggung, kasar, dan terlalu sensitif, menyeruak dalam dirinya. Aku mencoba mengistirahatkan napasku sendiri dan berkata, ‘Tenanglah, Cinta. Mungkin dia lelah.’ Dan mungkin, Hari Kasih Sayang yang jatuh pada tanggal 14 Februari adalah awal dari segalanya.
Sepulang sekolah, aku mencoba menghubungi Reno, memastikan bahwa janji yang telah kami buat benar-benar tanpa ingkar. Kuraih telepon genggamku dan mulai menulis pesan singkat.
“Sayang, kamu dimana? Jadi ngerayain Valentine nggak? Kalau iya, aku mau pulang dulu, bawain sesuatu buat kamu. Tunggu di kelasku kayak biasanya, ya.”
Sesaat kemudian, ia membalas. “Aku lagi keluar sebentar. Iya deh. Cepetan ya.”
Dengan sigap aku pulang ke rumah yang hanya berjarak 300 meter dari sekolahku. Dari tadi malam, aku telah menyiapkan spaghetti spesial dengan bahan racikan khusus dari resep andalan kakakku. Mungkin, dengan memasak spaghetti bertuliskan ‘I Love U’ ditengahnya, akan sedikit meredamkan amarah dan kekakuan Reno yang terjadi akhir-akhir ini. Setelah mengecek segala perlengkapan makanan, aku segera kembali menuju sekolah.
Sesampainya di parkiran, aku bertemu dengan teman kelasku, Bagas namanya. Aku cukup akrab dengannya. Dia jangkung, keren, dan namanya sudah tak asing di telinga siapa saja yang pernah mendengarnya, baik warga sekolah maupun luar sekolah, termasuk kakak-kakak kelas yang tidak suka dengan adik kelas yang dicap ‘sok gaya’. Dia pun melemparkan senyum ke arahku. Aku hanya bisa menghampirinya dengan tatapan ramah pula.
“Kok belum pulang, Gas? Tumben.”
“Aku mau balik ke kelas nih, dompetku ketinggalan di laci kayaknya.”
“Oh, mau ke kelas? Bareng dong kalau gitu. Aku juga mau kesana.”
Kami pun berjalan menyusuri setapak taman yang memantulkan terik matahari secara sporadis. Dengan kelakar-kelakar yang biasa diucapkan, kami hampir berhasil menyentuh pintu kelas hingga terlihat sesosok Reno di depannya, sambil mengetuk-ketukkan jari di daun pintu. Wajahnya yang masam dan tak seperti biasanya, membuatku takut untuk maju selangkah lagi. Berbeda dengan Bagas, yang cuek masuk dan meninggalkan kelas.
Aku pun mencoba memecah keheningan. “Hei, ngapain diem aja? Nih, Voila! Spaghetti spesial ala Chef Cinta!”, celotehku menutupi ketakutan yang melanda.
“Kamu tadi habis pergi sama dia?”, tanyanya tanpa menghiraukan keceriaanku sama sekali.
“Ya enggak lah. Tadi di parkiran aku ketemu dia. Kebetulan dia mau ngambil dompetnya yang ketinggalan di kelas.”
“Terus jalan bareng gitu?”
“Kamu kenapa sih?”, tanyaku dengan nada meninggi. Kuakui itu semakin memperburuk keadaan.
“Justru kamu yang kenapa! Ini hari kasih sayang, tapi kamu malah jalan bareng sama orang yang jelas-jelas aku benci, dan kamu juga tahu itu kan?”
“Oke, aku tahu. Tapi dia itu temen kelasku sendiri. Masak aku harus diem aja gitu ketemu dia? Aku harus ngomong berapa kali sih ke kamu, kalau aku sama dia itu nggak ada apa-apa. Cuma teman sekelas.”
“Aku nggak peduli. Mau teman sekelas, mau enggak, aku tetep benci sama dia yang sok gaya jadi adik kelas. Tinggal kamu pilih, aku apa temen sekelasmu itu.”
Air mataku seketika bercucuran. Aku tidak menyangka, masalah yang sangat sepele bagiku, justru berbuah petaka.
“Kenapa sih kamu marah-marah gini sekarang? Kamu nggak kayak dulu lagi tahu nggak, sih.”, ujarku sambil menangis membasuh air mata yang menetes di pipi.
“Udahlah, nggak usah nangis. Cengeng banget. Aku nggak suka aja kamu ngeyel dan tetep ngelakuin apa yang aku larang. Aku udah bilang kan, jangan deket-deket ama dia. Aku nggak suka kamu dekat sama lelaki manapun. Aku capek. Mendingan kamu makan sendiri aja spaghettinya. Aku mau pulang.” Ia pun berlalu meninggalkanku yang masih berdiri membisu di depan kelas. Membungkam jeritan keras di dalam hati.
-------------------------------------------------

Sebulan berlalu. Semenjak kejadian itu, aku mencoba untuk mem’bodoh’kan diriku sendiri. Aku pun mencoba menghindarkan diri dari kontak ‘teman laki-laki’. Dan seiring dengan program yang telah aku implementasikan, Reno menjadi kembali ramah dan romantis kepadaku. Aku sedikit lega, mengingat aku juga tak mau mengganggu konsentrasinya untuk beberapa Uji Coba sekolah dalam menghadapi Ujian Nasional satu bulan ke depan. Semua hampir berjalan normal kembali, sebelum malapetaka kedua menghajar keras hubunganku dengan Reno.
Mantanku sebelumnya, Reza, menghubungiku kembali melalui pesan masuk dalam akun jejaring sosialku. Dengan sapaannya yang ramah, aku pun membalas pesannya dengan ramah pula. Dia berbagi cerita tentang masa-masa yang ia lewati tanpaku. Lucu memang, tapi aku berusaha menanggapinya dengan lelucon-lelucon masa lalu yang mampu membuat kami tertawa dan akrab kembali, tanpa adanya ekspektasi lebih. Karena ia tahu, bahwa aku sudah menjadi milik orang lain, dan aku pun sudah tidak mencintainya lagi.
Namun celakanya, lelucon-lelucon itu memburamkan pikiranku untuk sejenak kembali mengingat bahwa aku dan Reno telah saling bertukar password akun. Tanpa sadar, aku lupa menghapus percakapanku dengan Reza malam itu. Dan pecahlah peperangan setelahnya. Kubuka satu pesan baru dari ‘Sayang’ yang tertera di handphoneku.
“Dasar cewek nggak tahu diri. Keganjenan. Kamu kira aku goblok, tolol, buat nggak tau apa yang kamu lakuin sama mantanmu? Mantan itu masa lalu! Ngapain kamu tanggepin? Udah kebongkar kan semua kedokmu? Nggak usah ngelak, karena nggak ada yang perlu dijelasin, dan nggak ada yang harus dimaafin. Mana komitmenmu dalam kesetiaan dan kepercayaan? Mungkin komitmenmu harus berakhir sampai disini.”
Hatiku seperti tersayat sembilu pisau tumpul yang mencoba mengiris. Lama sekali untuk memahami dan merasakan sakit. Aku disebut ‘cewek nggak tahu diri’? Keganjenan? Dan…putus? Aku mencoba untuk menguatkan diriku untuk membaca kata-kata kasar lain yang tertera dalam pesan singkatnya. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Aku sangat mencintai dia, aku belum siap kehilangan dia, dan semua ini hanya kesalahpahaman belaka! Aku tak tahu apa yang harus aku perbuat lagi. Aku mencoba menghubungi nomornya dan mengirim pesan singkat puluhan kali, tapi tak sedikitpun memberikan efek. Aku menangis sejadi-jadinya, mencoba meredam jeritan sakit yang ingin aku keluarkan dari mulut ini. Seperti itukah pandangannya terhadapku, kekasihnya sendiri? Sependek itukah kepercayaannya padaku? Hingga aku memutuskan untuk tidak tidur hingga fajar menyongsong hari.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Ya Tuhan! Cinta, kamu kenapa? Kok pucet banget sih?”, tanya Sintya, sahabatku sekaligus teman duduk sebangkuku. Ia mengomel tak karuan setelah beberapa menit aku tidak menjawab pertanyaannya. “Iya, kamu kenapa, Cin? Sakit? Yuk, ke UKS aja, kita anter deh.”, sambung Tias, seorang cewek yang bangkunya ada di depanku.
“Nggak papa kok. Cuma butuh istirahat aja.”
“Udah makan?”
“Belum.”
“Ya ampun, Cin! Ngapain belum sarapan? Sarapan yuk, mumpung pelajaran kosong nih.”
Sebelum menjawab pertanyaan Sintya, bola mataku telah menghamburkan efek ‘blur’ terdahulu sebelum akhirnya aku jatuh pingsan.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Jadi karena itu, Cin, kamu jadi kayak gini?”, tanya Sintya saat mendengarkan curahan hatiku setelah aku tersadar. Tak banyak kata yang bisa aku ucapkan. Bulir-bulir air mata yang menetes di pipi seolah mewakiliku. Aku pun melanjutkan bicaraku.
“Aku capek. Aku merasa sekarang Reno udah berubah total. Nggak ada Reno yang romantis, perhatian, lembut, kayak dulu lagi. Sekarang dia cuma bisa marah, gampang tersinggung, dan cemburuan banget.”, ujarku dilanjutkan oleh tangisan yang tersedu-sedu. Teman-temanku segera memeluk dan membelai rambutku mengisyaratkan ‘Sabar, Cinta.’ Setidaknya, semangat dari mereka cukup meredamkan sakitku.
“Ngapain kamu disini?”, tiba-tiba suara yang tak asing itu menyambar telingaku. Reno.
“Aku kesini dipanggil Tias. Ada apa?”
“Maksudmu ada apa?”
Sintya dan kawan-kawan memberiku isyarat, memastikan bahwa merekan akan segera pergi.
“Ngapain kamu harus mendramatisir diri kayak gini? Semua ini juga salahmu sendiri, kan? Apa kamu udah lupa sama janji-janji kita, nggak akan berhubungan lagi sama masa lalu.”
“Iya, aku tahu aku emang salah, Ren. Tapi aku sama sekali nggak punya maksud apa-apa. Kamu juga nggak seharusnya ngata-ngatain aku secara kasar kayak di SMS. Karena aku tahu, Reno yang aku kenal jauh banget dari sekarang.”
“Setiap orang juga punya batas kesabaran kan, Cinta? Aku nggak bisa terus-terusan ngalah sama kelakuanmu yang masih labil itu. Semua orang bisa berubah. Dan kamu bikin aku jadi kayak gini!”
“Cukup, Reno. Cukup! Daripada kamu bikin aku kayak gini sama kelakuanmu, mending aku mati aja!”, teriakku sambil memegang pisau di meja seberang, yang justru memecah tawanya.
“Hahaha..dasar anak kecil. Hei, nggak usah macem-macem. Nggak usah kayak anak kecil!”
Tanpa memperdulikannya, aku hampir mengiris pergelangan tanganku, yang segera disahut dan dipeluknya tubuhku dengan erat-erat. “Jangan ngelakuin hal kayak gini lagi. Aku nggak suka.”, katanya dengan lembut.
“Aku emang salah, Ren. Tapi kamu nggak bisa kayak gini terus. Jangan berubah kayak gini. Aku sayang sama kamu. Kamu cuma salah paham.”, tangisku memecah suasana. Ia hanya membisu dan tak berkata-kata. Hanya sentuhan tangannya yang mampu menenangkanku dari situasi ini. Setidaknya, dia kembali lagi untukku, dan cinta inilah sang pemenang situasi.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ujian Nasional telah terlewati. Para kakak ‘tertua’ dengan senang hati menghembuskan napas kelegaannya yang telah mereka tekan selama tiga tahun ini. Pesta perpisahan pun tiba. Aku ditunjuk sebagai salah satu pengisi acara tersebut. Dengan pakaian yang cukup minim, aku menyanyikan sebuah lagu milik girlband ternama bersama temanku yang lain, dan disambung dengan menari berpasangan laki-laki dan perempuan.
Selesai pentas, aku segera berlari untuk berganti pakaian. Kelegaanku membuncah ketika aku sudah mengenakan seragam sekolah seperti biasa. Namun, firasat tak enak menyeruak saat Reno ada di belakang kelasku.
“Hai..”, sapaku kaku. “Gimana, udah foto-foto sama teman sekelas?”
“Udah.”
“Mmm..tadi aku kok nggak lihat kamu waktu aku pentas. Katanya kemarin kamu mau nonton aku, pasti tadi sibuk sendiri kan sama temen-temenmu?”, ujarku sedih.
“Nonton kok. Tapi sayangnya aku nyesel.”
“Kenapa?”, tanyaku tegang.
“Aku nggak habis pikir. Sejak kapan kamu mau makai pakaian minim kayak gitu? Nari-nari sama cowok, mesra lagi. Kenapa kamu nggak pernah ngomong sama aku sebelumnya?”
“Aku udah pernah bilang ke kamu, Ren. Tapi kamu cuek-cuek aja. Kamu terlalu sibuk sama band kamu itu. Sekarang, malah aku yang disalahin. Lagian, aku juga baru ini kok tahu kalau kostumnya dari sekolah bakal seminim itu.”
Tiba-tiba, sebuah tangan melayang dan mendarat keras di pipiku. Sesuatu yang seumur-umur baru kali ini dilakukan oleh seorang laki-laki kepadaku, yang notabene kekasihku sendiri.
“Pinter banget ya kamu nyalahin orang, nyalahin bandku, temen-temenku. Udah salah, ganjen, malah nyalahin orang. Bisa nggak sih jadi cewek itu punya pendirian pasti? Kamu lupa sama kelakuanmu yang selingkuh itu sama mantanmu? Gimana mau lancar LDR’an kalau dikasih nasehat malah ngeyel. Dasar cewek nggak tahu diri!”
Seketika aku menjerit dan menangis, tak peduli orang-orang yang menyimak pertengkaranku dengan Reno.
“Silahkan, tampar aja lagi kalau itu bisa bikin kamu seneng! Kurang apa sih aku di matamu, Ren? Aku selalu sabar, ngalah, nurut sama kamu. Tapi kamu malah semakin menjadi-jadi! Aku bisa maklum kalau kamu jadi pemarah kayak gini gara-gara Ujian Nasional. Tapi makin lama kamu makin nggak kontrol tahu nggak!”, tuturku dipadu dengan tangisan yang menjadi-jadi. Kulihat belasan pasang mata menatap sinis ke arah Reno, dan menyalurkan simpati ke arahku. Kulihat muka Reno yang geram sekejap menjadi lembut dan penyayang. Dia memegang tanganku dan segera mengajakku keluar dari posisinya yang terpojokkan. Ia membawaku ke halaman belakang sekolah.
“Udah, lupain kejadian tadi. Anggap aja kita nggak pernah bertengkar kayak gitu. Aku minta maaf, aku terlalu lancang nampar kamu. Aku ngelakuin itu karena aku sayang kamu.”, jelasnya sambil membelai rambut dan memelukku. Aku merasakan pelukannya yang terlalu kuat, bagaikan cengkeraman elang kepada mangsanya, yang membuatku tak nyaman. Namun sekali lagi, setidaknya dia kembali lagi untukku, dan cinta inilah sang pemenang situasi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Pengumuman kelulusan telah berhasil memenangkan hati para pejuang di seluruh penjuru tanah air. Sorak-sorai, teriakan kemenangan, tawa lepas, dan warna-warni yang menghiasi seragam turut mewakili apa yang aku rasakan sekarang. Kebahagiaan yang menggelayuti hatiku dan Reno, seakan menghapus segala problema yang telah terjadi di hari lalu. Senyumnya yang manis dan tawanya yang renyah, mampu menggerakkan bibirku untuk sedikit menorehkan rasa senyum. Kata ‘LULUS’ yang tertera, dibubuhi dengan nilai-nilai maksimal di ijazahnya, ternyata sesuai dengan harapanku dan dia. Kami segera merayakan kemenangan di sebuah kafe favorit kami.
“Aku bahagia, kalau kamu bahagia kayak gini. Senyummu segala-galanya buat aku, Ren.”, kataku dengan pandangan penuh makna. Reno hanya tersenyum dan segera memegang tanganku dengan penuh kelembutan. “Terima kasih buat selama ini, Cinta. Kamu selalu ngasih semangat ke aku buat belajar lebih giat. Terima kasih juga buat sayangnya ke aku.” Aku hanya bisa tertawa mendengar kata-katanya.
“Sebentar lagi, kita bakalan jauh, kepisah, nggak bisa sama-sama lagi setiap saat kayak dulu.” Aku hanya tersenyum mendengarkan keluhannya, seakan mengetahui seberapa besar kesedihannya meninggalkanku.
“Ingat janji kita, Ren. Saling setia, saling percaya, jaga komitmen. Yang paling penting, harus bersikap lebih dewasa lagi.”
“Iya, maafin aku, Sayang, kalau aku selama ini egois ke kamu. Janji ya, bakal selalu menjaga komitmen kita.”
Senyuman yang terpaut pada wajahnya dan wajahku, mungkin sebentar lagi akan sirna terhapus waktu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah dua bulan, dan hampir tiga bulan, kami menjalani Long Distance Relationship, hubungan jarak jauh yang terkadang memberikan nikmat maupun siksaan. Awalnya, semua berjalan mulus seperti yang seharusnya. Namun sebulan belakangan, aku merasa dirinya dikejar ‘death’line yang sangat bengis, yang memaksaku untuk terpaku diam tanpa disuruh tahu mengenai kabarnya. Reno sama sekali jarang memberikan kabar untukku. Bahkan, untuk sekedar bertanya sedang apa pun, kuantitatif pun bisa aku menangkan.
Sampai suatu hari, aku membuka pesan masuk yang ada di akun jejaring sosialnya. Kulihat percakapan antara Reno dengan perempuan yang sangat akrab, mesra, dan memiliki janji untuk saling bertemu. Tanpa terasa air mataku mengalir di pipi. Semudah itukah dia berpaling dariku? Atau ini hanyalah paparan keakrabannya saja dengan teman kuliahnya, pikirku. Kuyakinkan diriku sendiri untuk tetap mempertahankan sang pemenang. Cinta.
Hingga saat Reno kembali ke kampung halaman dan memutuskan untuk bertemu di kafe bandara sore hari, keceriaanku tidak setara dengan yang sebelumnya.
“Gimana kuliahnya, enak? Kok jarang banget ngasih kabar?”, tanyaku.
“Emang sibuk banget kok. Kebetulan aku ikut organisasi disana. Jadi ya…gitu deh.”
Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Dengan sigap ia mengangkat panggilan dan menjauhkannya dariku. Aku pun mulai menaruh curiga hingga dia kembali.
“Siapa?”, tanyaku datar.
“Saudaraku. Katanya ada masalah penting di rumah. Aku mau pulang dulu.” Reno meninggalkanku tanpa sepatah kalimat sayang yang ia cuatkan. Haruskah aku memaafkan, lagi?
        -----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semenjak kepulangan pertamanya itu, perubahan drastis terjadi lagi. Bahkan lebih ‘anjlok’ dari yang terdahulu. Reno selalu marah-marah, mengeluarkan caci dan maki apabila ia lelah dalam menghadapi aktivitasnya. Serendah itukah posisiku untuk dijadikan tempat pelampiasan amarahnya? Bahkan, seringkali apa yang dikatakannya kepadaku, berbeda dengan apa yang ia tulis di pena maya akunnya. Aku pun berfikir, apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Hingga dalam setiap pertengkaran, dirinya selalu mengandalkan kata ‘putus’ di setiap argumennya. Dan dengan bodohnya aku menitikkan air mata untuknya, dan tidak menyerah untuk berhenti memaafkan sifatnya.
Hingga sampai suatu saat, itulah akhir dari kesabaran yang diberikan Tuhan kepadaku. Dengan jelas kulihat percakapannya dengan wanita yang sama, membubuhkan tanda titik dua bintang dan kata-kata sayang. Terasa sayap-sayap yang telah melekat di hati, patah dengan kerdipan mata. Mengapa Reno tidak menghapus pesan pengkhianatannya dariku? Apakah dia sengaja ingin menunjukkan?
Segera kuserang dia dengan ribuan kata-kata yang berusaha memojokkan dirinya. Dan hanyalah sebuah khayalan belaka, bila ia membalasnya dengan jawaban-jawaban mutiara.
“Terus maumu apa, Cinta? Putus? Haha. Kamu selalu saja menyalahkan orang lain. Kamu nggak pernah lihat dirimu sendiri kayak gimana. Kamu nyuruh aku jaga komitmen tentang percaya dan setia, kamu pikir kamu udah bener ngelakuinnya? Kamu mau putus? Yaudah putus aja silahkan!”
Aku pun membalas pesan singkatnya diiringi jeritan hati dan buliran air mata yang menetes, namun mantap kulakukan.
“Aku lelah, Reno. Aku capek harus menunggu kesadaranmu. Aku capek nunggu kamu buat ngembaliin kepercayaanku kayak dulu. Semua udah berubah. Kenangan-kenangan manis udah buyar, membekas jadi sakit. Aku capek kamu egoisi, aku capek ngalah terus, aku capek kamu rendahin terus. Silahkan Reno, asal itu bikin kamu bahagia, aku ikut bahagia lihat kamu menemukan yang lebih baik dari aku. Asal, lepasin aku. Lepasin aku dan semua kenangan yang ada di pikiranmu. Biarkan kita putus, seperti yang seharusnya kamu katakan. Selamat berbahagia dengan kata putus yang selalu kamu agungkan.”
Dengan mantap aku mengirimnya. Aku hanya bisa terdiam sembari menahan luka. Kata-kata sayang dan permintaan maaf yang ia lontarkan sekarang, tak beda halnya dengan sebuah lubang yang berusaha menjebak mangsa untuk jatuh ke lubang yang sama. Ternyata aku salah, ternyata aku tidak serapuh yang kukira. Ternyata aku bisa melewati lubang kesakitan yang selama ini menjeratku, memenjarakan hatiku, membentuk bingkai pengkhianatan. Komitmen tentang kepercayaan dan kesetiaan, hanyalah sekedar kabar burung yang ia janjikan. Kesetiaan, yang mengingkari kejujurannya sendiri. Dan kepercayaan, yang mengingkari keyakinannya sendiri. Mampukah aku memaafkannya, lagi?


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar