Berlian dalam Belukar
Jam
menunjukkan pukul dua belas siang. Terik di kala itu begitu menyengat. Bara
surya-Nya bahkan ingin sekali mendesak masuk melegamkan epidermis. Namun, tak
sedikitpun aku berniat untuk mengangkat
tubuh dan mempersilahkan diri dan berkata ‘pergilah’. Saat itu adalah saat-saat
yang aku tunggu selama satu bulan belakangan. Semacam ‘kopi darat’, mungkin.
Dengan
seragam SMP dan belasan pita di rambut aku duduk di pinggir lapangan basket
sendirian. Pikiranku melayang-layang sambil menorehkan senyum bila mengingat
apa yang aku lakukan sekarang. Reno namanya. Ia adalah kakak kelas dua tingkat di
SMAku yang baru ini. Perkenalanku dengannya sudah terjalin cukup lama. Melalui
situs jejaring sosial lah kami berkenalan. Dia keren, baik, ramah, humoris,
perhatian terhadap perempuan, dan bisa dibilang romantis. Namun sayang, harapan
untuk bisa menemuinya baru tertambat sekarang setelah sebulan lamanya hanya
bisa bercengkerama lewat akun dunia maya, dan ‘tertatih-tatih’ melewati Masa
Orientasi Siswa selama tiga hari tanpa melihat batang hidung yang sama
sedikitpun dengannya di sekolah. Terlihat bayangan anak laki-laki yang
mendekat. Jangkung, senyum manis, namun serasa ragu untuk semakin mendekat. Ya,
itu Reno! Segera aku bersiap-siap diri, lebih tepatnya berpura-pura diri untuk
mengotak-atik Blackberryku yang tak
bernyawa dalam sel keringnya.
“Cinta,
ya?”, seloroh lembut itu diterima oleh telingaku dengan cepat, seakan
menjebakku untuk tercekat. Aku pun menoleh. “Mmmm..iya..eh..Kak Reno, ya?
Hehe.” Tawa ‘renyah’ku seakan menampar keadaan. Bagaimana bisa situasi ini
sangat kontras dengan celoteh-celoteh ngawur di dunia maya selama sebulan
lebih?
“Hahaha..nggak
usah grogi gitu kali, Cin. Biasa aja. Kan kita udah akrab banget di dunia maya.
Mmmm..udah nunggu lama ya?”, jawabannya seakan menjadi probem solver dalam keheningan yang hampir aku ciptakan. “Nggak
sih, Kak. Cuman sepuluh menit kok. Walaupun panas sih.”, seruku sambil
mengusap-usap tangan, sengaja memberi kode untuk mengajak ke tempat yang lebih
teduh. Ia pun tersenyum singkat. “Oke, aku tahu kok. Aku mau ngomong dua hal.
Yang pertama, maaf ya adek kelasku yang baru, kalau aku sengaja ngasih MOS
tambahan buat kamu. Dan yang kedua, jalan yuk.”
Aku
merasa Si Cupid dengan sigap mengarahkan panahnya menuju tepat di palung
hatiku. Kata-kata yang sederhana, simple, namun berhasil ‘meledakkan petasan’
di dadaku. “Ah, nggak apa-apa kok, Kak. Buat jawaban yang kedua, aku ngikut aja
deh.”, jawabku sambil menahan senyum yang berlebihan. Reno segera melepaskan
senyum dan tawanya, diiringi dengan alunan kaki yang santai. Di sisi lain, aku
berharap suatu saat kaki itulah yang berlari untukku.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah
dua pekan terakhir aku berhasil mewujudkan ekspektasiku di dunia nyata.
Berangkat dan pulang sekolah bersama, nonton film bersama, makan siang bersama,
dan melontarkan celoteh-celoteh ngawur yang dahulu hanya bisa aku serukan di
dunia maya. Kebersamaan ini sudah tidak asing lagi bagi teman-teman kelasku,
maupun kakak kelas yang lain. Aku hanya bisa menjawab semua interogasi
teman-temanku maupun lirikan-lirikan para kakak kelas perempuan dengan morse
senyuman. Ketidakpedulianku dengan makna dari kebersamaanku bersama Reno selama
ini pun melahirkan opsi kontras, apakah dia mencintaiku, atau tidak. Hubungan
nyata yang telah terlihat di depan semua orang pun tidak bisa dipertahankan
hanya dengan status ‘Kakak-Adik’. Perlahan-lahan aku mulai menjauh darinya, dan
mulai melebarkan egoku lewat kutipan-kutipan risau di akun jejaring sosial. Dia
pun juga semakin menjaga jarak denganku. Waktu pun memakan hari, semakin lama
status itu pun tertelan masa. Dan bahkan lenyap seketika.
Hingga
kalender menunjukkan tanggal sejarahku. Ulang tahunku yang ke-15. Kubuka dengan
mata sipit perlahan-lahan di tengah malam, membaca satu-persatu pesan singkat
yang telah terkirimkan ke nomor selularku. Begitu pula dengan pemberitahuan
yang ada pada akun jejaring sosialku. Tak ada satu pun yang membuatku membuka
mata secara bermakna. Tak ada pesan dari Reno. Kututup handphoneku dan kembali tidur hingga ufuk fajar mengetuk langit
untuk membuka cakrawalanya.
Di
sekolah, aku pun mencoba menepis segala ucapan riang teman-temanku dengan
senyuman kecut. Tak ada yang perlu diselamati, pikirku. Biarlah umur ini bertambah,
toh tak akan mampu menyingkirkan kekecewaanku akhir-akhir ini.
Dan
hari pun terlalui hingga dering bel sekolah mengumandangkan kekuasaannya.
Menandakan saat-saat yang paling kunantikan telah tiba, pulang sekolah. Tiba-tiba,
cengkeraman yang kuat meraih pergelangan tanganku dari belakang.
“Kak
Reno. Ngapain?”, jawabku datar.
“Aku
mau ngomong sesuatu sama kamu, sebentar aja. Boleh kan?”
“Oke.”
Dengan
tanpa permisi, ia meraih tanganku dan membawaku ke suatu tempat. Langkahnya pun
berakhir di taman.
“Ada
apa sih, Kak? Biasa aja kali, nggak usah jalan sambil megang tanganku
kenceng-kenceng gini.”, ujarku kesal. Ia sama sekali tak berkomentar. Mulutnya
pun menganga lebar, seakan ingin membuka pembicaraan yang panjang.
“Cinta,
aku tahu, kamu juga ngerasain apa yang aku rasain. Semua apa yang kamu omongin
di akun kamu, atau semua sikap kamu akhir-akhir ini, aku tahu aku yang salah.
Aku takut kamu bakal benci sama aku, karena aku cowok tolol yang penakut dan
nggak tegas.”
“Maksudnya?”
Seketika,
tangannya meraih tanganku dengan lembut dan hati-hati, merasa bahwa tanganku
adalah sebuah bangunan yang kokoh namun rentan sekali rapuh.
“Aku
tahu, kamu nggak nyaman sama kebersamaan kita dulu, tanpa status. Aku cuma
takut, kalau aku jalan lebih lanjut sama kamu, kamu bakal tersakiti.”
“Tersakiti
apa?”, tanyaku penasaran.
“Jujur,
aku takut kalau kita harus LDR ke depannya. Aku takut itu bakal menyiksa kita
besok.”, jawabnya dengan menunduk.
Kurasakan
gejolak bahagia namun hancur di dadaku. Sejauh itukah ternyata harapan Reno
kepadaku untuk merajut tali kasih bersama? Tapi kenapa dia harus melakukannya
dengan cara seperti ini? Dengan cara yang seolah-olah siap membunuhku setiap
saat ketika mengingatnya.
“Aku
nggak tahu, gimana pola pikirmu. Tapi untuk apa kamu takut, Kak? Cinta itu kita
yang menjalani, waktu hanya mengikuti alur kita, bukan menghakimi. Untuk apa
kamu takut untuk berhubungan jarak jauh suatu saat, apa yang perlu
dikhawatirkan? Semua tergantung dua subjek, aku dan kamu. Selama Kak Reno masih
percaya kesetiaan dan komitmen, nggak ada yang perlu ditakutin.”
“Aku
takut semua itu karena aku sayang kamu, Cin. Baru kali ini aku bisa akrab
banget sama cewek, bahkan lebih.”
“Terus,
sekarang maunya Kak Reno gimana?”
“Terus,
kamu mau nggak jadi pacarku?”, sambungnya dengan lugas dan mampu memberikan
dentuman hebat dalam jantungku. Dia berhasil membuatku tercekat dan tak mampu
lagi mengeluarkan kata-kata. Sejenak kutarik napasku dalam-dalam, penuh arti,
hanya untuk mengeluarkan satu kata sederhana namun penentu segalanya. Ya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Oktober.
Bulan pembawa rezeki dan beribu penantian, bagiku. Setelah ayahku mendapat
kenaikan pangkatnya sebagai stabilisator keamanan dan ketertiban negara, dua
bulan sudah aku merajut tali kasih dengan Reno. Hubungan yang sangat indah
tanpa pernah ada masalah. Dan di bulan Oktober juga, Reno akan berulang tahun
yang ke-17. Dengan surprise kecil di
malam hari, sudah cukup merangkapi kebahagiaanku dengannya. Membentuk simbol
cinta yang disusun dengan 17 lilin bukanlah pekerjaan yang mudah tanpa bantuan
teman-teman terbaikku. Duduk berdua di tengah lilin-lilin kecil yang
mengelilingi, telah menambah rasa cintaku padanya, begitu pula dengannya.
Hingga
Oktober pun berganti menyapa kawan-kawannya. Tiga bulan, empat bulan, lima
bulan, hingga enam bulan. Entah mengapa, Reno berubah drastis menjelang Ujian
Nasional. Sifat pemarah, gampang tersinggung, kasar, dan terlalu sensitif,
menyeruak dalam dirinya. Aku mencoba mengistirahatkan napasku sendiri dan
berkata, ‘Tenanglah, Cinta. Mungkin dia lelah.’ Dan mungkin, Hari Kasih Sayang
yang jatuh pada tanggal 14 Februari adalah awal dari segalanya.
Sepulang
sekolah, aku mencoba menghubungi Reno, memastikan bahwa janji yang telah kami
buat benar-benar tanpa ingkar. Kuraih telepon genggamku dan mulai menulis pesan
singkat.
“Sayang,
kamu dimana? Jadi ngerayain Valentine
nggak? Kalau iya, aku mau pulang dulu, bawain sesuatu buat kamu. Tunggu di
kelasku kayak biasanya, ya.”
Sesaat
kemudian, ia membalas. “Aku lagi keluar sebentar. Iya deh. Cepetan ya.”
Dengan
sigap aku pulang ke rumah yang hanya berjarak 300 meter dari sekolahku. Dari
tadi malam, aku telah menyiapkan spaghetti
spesial dengan bahan racikan khusus dari resep andalan kakakku. Mungkin,
dengan memasak spaghetti bertuliskan
‘I Love U’ ditengahnya, akan sedikit meredamkan amarah dan kekakuan Reno yang
terjadi akhir-akhir ini. Setelah mengecek segala perlengkapan makanan, aku
segera kembali menuju sekolah.
Sesampainya
di parkiran, aku bertemu dengan teman kelasku, Bagas namanya. Aku cukup akrab
dengannya. Dia jangkung, keren, dan namanya sudah tak asing di telinga siapa
saja yang pernah mendengarnya, baik warga sekolah maupun luar sekolah, termasuk
kakak-kakak kelas yang tidak suka dengan adik kelas yang dicap ‘sok gaya’. Dia
pun melemparkan senyum ke arahku. Aku hanya bisa menghampirinya dengan tatapan
ramah pula.
“Kok
belum pulang, Gas? Tumben.”
“Aku
mau balik ke kelas nih, dompetku ketinggalan di laci kayaknya.”
“Oh,
mau ke kelas? Bareng dong kalau gitu. Aku juga mau kesana.”
Kami
pun berjalan menyusuri setapak taman yang memantulkan terik matahari secara
sporadis. Dengan kelakar-kelakar yang biasa diucapkan, kami hampir berhasil
menyentuh pintu kelas hingga terlihat sesosok Reno di depannya, sambil
mengetuk-ketukkan jari di daun pintu. Wajahnya yang masam dan tak seperti
biasanya, membuatku takut untuk maju selangkah lagi. Berbeda dengan Bagas, yang
cuek masuk dan meninggalkan kelas.
Aku
pun mencoba memecah keheningan. “Hei, ngapain diem aja? Nih, Voila! Spaghetti spesial ala Chef
Cinta!”, celotehku menutupi ketakutan yang melanda.
“Kamu
tadi habis pergi sama dia?”, tanyanya tanpa menghiraukan keceriaanku sama
sekali.
“Ya
enggak lah. Tadi di parkiran aku ketemu dia. Kebetulan dia mau ngambil
dompetnya yang ketinggalan di kelas.”
“Terus
jalan bareng gitu?”
“Kamu
kenapa sih?”, tanyaku dengan nada meninggi. Kuakui itu semakin memperburuk
keadaan.
“Justru
kamu yang kenapa! Ini hari kasih sayang, tapi kamu malah jalan bareng sama
orang yang jelas-jelas aku benci, dan kamu juga tahu itu kan?”
“Oke,
aku tahu. Tapi dia itu temen kelasku sendiri. Masak aku harus diem aja gitu
ketemu dia? Aku harus ngomong berapa kali sih ke kamu, kalau aku sama dia itu
nggak ada apa-apa. Cuma teman sekelas.”
“Aku
nggak peduli. Mau teman sekelas, mau enggak, aku tetep benci sama dia yang sok
gaya jadi adik kelas. Tinggal kamu pilih, aku apa temen sekelasmu itu.”
Air
mataku seketika bercucuran. Aku tidak menyangka, masalah yang sangat sepele
bagiku, justru berbuah petaka.
“Kenapa
sih kamu marah-marah gini sekarang? Kamu nggak kayak dulu lagi tahu nggak,
sih.”, ujarku sambil menangis membasuh air mata yang menetes di pipi.
“Udahlah,
nggak usah nangis. Cengeng banget. Aku nggak suka aja kamu ngeyel dan tetep
ngelakuin apa yang aku larang. Aku udah bilang kan, jangan deket-deket ama dia.
Aku nggak suka kamu dekat sama lelaki manapun. Aku capek. Mendingan kamu makan
sendiri aja spaghettinya. Aku mau
pulang.” Ia pun berlalu meninggalkanku yang masih berdiri membisu di depan
kelas. Membungkam jeritan keras di dalam hati.
-------------------------------------------------
Sebulan
berlalu. Semenjak kejadian itu, aku mencoba untuk mem’bodoh’kan diriku sendiri.
Aku pun mencoba menghindarkan diri dari kontak ‘teman laki-laki’. Dan seiring
dengan program yang telah aku implementasikan, Reno menjadi kembali ramah dan
romantis kepadaku. Aku sedikit lega, mengingat aku juga tak mau mengganggu
konsentrasinya untuk beberapa Uji Coba sekolah dalam menghadapi Ujian Nasional
satu bulan ke depan. Semua hampir berjalan normal kembali, sebelum malapetaka
kedua menghajar keras hubunganku dengan Reno.
Mantanku
sebelumnya, Reza, menghubungiku kembali melalui pesan masuk dalam akun jejaring
sosialku. Dengan sapaannya yang ramah, aku pun membalas pesannya dengan ramah
pula. Dia berbagi cerita tentang masa-masa yang ia lewati tanpaku. Lucu memang,
tapi aku berusaha menanggapinya dengan lelucon-lelucon masa lalu yang mampu
membuat kami tertawa dan akrab kembali, tanpa adanya ekspektasi lebih. Karena
ia tahu, bahwa aku sudah menjadi milik orang lain, dan aku pun sudah tidak
mencintainya lagi.
Namun
celakanya, lelucon-lelucon itu memburamkan pikiranku untuk sejenak kembali
mengingat bahwa aku dan Reno telah saling bertukar password akun. Tanpa sadar, aku lupa menghapus percakapanku dengan
Reza malam itu. Dan pecahlah peperangan setelahnya. Kubuka satu pesan baru dari
‘Sayang’ yang tertera di handphoneku.
“Dasar
cewek nggak tahu diri. Keganjenan. Kamu kira aku goblok, tolol, buat nggak tau
apa yang kamu lakuin sama mantanmu? Mantan itu masa lalu! Ngapain kamu
tanggepin? Udah kebongkar kan semua kedokmu? Nggak usah ngelak, karena nggak
ada yang perlu dijelasin, dan nggak ada yang harus dimaafin. Mana komitmenmu
dalam kesetiaan dan kepercayaan? Mungkin komitmenmu harus berakhir sampai
disini.”
Hatiku
seperti tersayat sembilu pisau tumpul yang mencoba mengiris. Lama sekali untuk
memahami dan merasakan sakit. Aku disebut ‘cewek nggak tahu diri’? Keganjenan?
Dan…putus? Aku mencoba untuk menguatkan diriku untuk membaca kata-kata kasar
lain yang tertera dalam pesan singkatnya. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?
Aku sangat mencintai dia, aku belum siap kehilangan dia, dan semua ini hanya
kesalahpahaman belaka! Aku tak tahu apa yang harus aku perbuat lagi. Aku
mencoba menghubungi nomornya dan mengirim pesan singkat puluhan kali, tapi tak
sedikitpun memberikan efek. Aku menangis sejadi-jadinya, mencoba meredam
jeritan sakit yang ingin aku keluarkan dari mulut ini. Seperti itukah
pandangannya terhadapku, kekasihnya sendiri? Sependek itukah kepercayaannya
padaku? Hingga aku memutuskan untuk tidak tidur hingga fajar menyongsong hari.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Ya
Tuhan! Cinta, kamu kenapa? Kok pucet banget sih?”, tanya Sintya, sahabatku
sekaligus teman duduk sebangkuku. Ia mengomel tak karuan setelah beberapa menit
aku tidak menjawab pertanyaannya. “Iya, kamu kenapa, Cin? Sakit? Yuk, ke UKS
aja, kita anter deh.”, sambung Tias, seorang cewek yang bangkunya ada di
depanku.
“Nggak
papa kok. Cuma butuh istirahat aja.”
“Udah
makan?”
“Belum.”
“Ya
ampun, Cin! Ngapain belum sarapan? Sarapan yuk, mumpung pelajaran kosong nih.”
Sebelum
menjawab pertanyaan Sintya, bola mataku telah menghamburkan efek ‘blur’
terdahulu sebelum akhirnya aku jatuh pingsan.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Jadi
karena itu, Cin, kamu jadi kayak gini?”, tanya Sintya saat mendengarkan curahan
hatiku setelah aku tersadar. Tak banyak kata yang bisa aku ucapkan. Bulir-bulir
air mata yang menetes di pipi seolah mewakiliku. Aku pun melanjutkan bicaraku.
“Aku
capek. Aku merasa sekarang Reno udah berubah total. Nggak ada Reno yang romantis,
perhatian, lembut, kayak dulu lagi. Sekarang dia cuma bisa marah, gampang tersinggung,
dan cemburuan banget.”, ujarku dilanjutkan oleh tangisan yang tersedu-sedu.
Teman-temanku segera memeluk dan membelai rambutku mengisyaratkan ‘Sabar,
Cinta.’ Setidaknya, semangat dari mereka cukup meredamkan sakitku.
“Ngapain
kamu disini?”, tiba-tiba suara yang tak asing itu menyambar telingaku. Reno.
“Aku
kesini dipanggil Tias. Ada apa?”
“Maksudmu
ada apa?”
Sintya
dan kawan-kawan memberiku isyarat, memastikan bahwa merekan akan segera pergi.
“Ngapain
kamu harus mendramatisir diri kayak gini? Semua ini juga salahmu sendiri, kan?
Apa kamu udah lupa sama janji-janji kita, nggak akan berhubungan lagi sama masa
lalu.”
“Iya,
aku tahu aku emang salah, Ren. Tapi aku sama sekali nggak punya maksud apa-apa.
Kamu juga nggak seharusnya ngata-ngatain aku secara kasar kayak di SMS. Karena
aku tahu, Reno yang aku kenal jauh banget dari sekarang.”
“Setiap
orang juga punya batas kesabaran kan, Cinta? Aku nggak bisa terus-terusan
ngalah sama kelakuanmu yang masih labil itu. Semua orang bisa berubah. Dan kamu
bikin aku jadi kayak gini!”
“Cukup,
Reno. Cukup! Daripada kamu bikin aku kayak gini sama kelakuanmu, mending aku
mati aja!”, teriakku sambil memegang pisau di meja seberang, yang justru
memecah tawanya.
“Hahaha..dasar
anak kecil. Hei, nggak usah macem-macem. Nggak usah kayak anak kecil!”
Tanpa
memperdulikannya, aku hampir mengiris pergelangan tanganku, yang segera disahut
dan dipeluknya tubuhku dengan erat-erat. “Jangan ngelakuin hal kayak gini lagi.
Aku nggak suka.”, katanya dengan lembut.
“Aku
emang salah, Ren. Tapi kamu nggak bisa kayak gini terus. Jangan berubah kayak
gini. Aku sayang sama kamu. Kamu cuma salah paham.”, tangisku memecah suasana.
Ia hanya membisu dan tak berkata-kata. Hanya sentuhan tangannya yang mampu
menenangkanku dari situasi ini. Setidaknya, dia kembali lagi untukku, dan cinta
inilah sang pemenang situasi.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ujian
Nasional telah terlewati. Para kakak ‘tertua’ dengan senang hati menghembuskan
napas kelegaannya yang telah mereka tekan selama tiga tahun ini. Pesta
perpisahan pun tiba. Aku ditunjuk sebagai salah satu pengisi acara tersebut.
Dengan pakaian yang cukup minim, aku menyanyikan sebuah lagu milik girlband ternama bersama temanku yang
lain, dan disambung dengan menari berpasangan laki-laki dan perempuan.
Selesai
pentas, aku segera berlari untuk berganti pakaian. Kelegaanku membuncah ketika
aku sudah mengenakan seragam sekolah seperti biasa. Namun, firasat tak enak menyeruak
saat Reno ada di belakang kelasku.
“Hai..”,
sapaku kaku. “Gimana, udah foto-foto sama teman sekelas?”
“Udah.”
“Mmm..tadi
aku kok nggak lihat kamu waktu aku pentas. Katanya kemarin kamu mau nonton aku,
pasti tadi sibuk sendiri kan sama temen-temenmu?”, ujarku sedih.
“Nonton
kok. Tapi sayangnya aku nyesel.”
“Kenapa?”,
tanyaku tegang.
“Aku
nggak habis pikir. Sejak kapan kamu mau makai pakaian minim kayak gitu?
Nari-nari sama cowok, mesra lagi. Kenapa kamu nggak pernah ngomong sama aku
sebelumnya?”
“Aku
udah pernah bilang ke kamu, Ren. Tapi kamu cuek-cuek aja. Kamu terlalu sibuk
sama band kamu itu. Sekarang, malah aku yang disalahin. Lagian, aku juga baru
ini kok tahu kalau kostumnya dari sekolah bakal seminim itu.”
Tiba-tiba,
sebuah tangan melayang dan mendarat keras di pipiku. Sesuatu yang seumur-umur
baru kali ini dilakukan oleh seorang laki-laki kepadaku, yang notabene
kekasihku sendiri.
“Pinter
banget ya kamu nyalahin orang, nyalahin bandku, temen-temenku. Udah salah,
ganjen, malah nyalahin orang. Bisa nggak sih jadi cewek itu punya pendirian
pasti? Kamu lupa sama kelakuanmu yang selingkuh itu sama mantanmu? Gimana mau
lancar LDR’an kalau dikasih nasehat malah ngeyel. Dasar cewek nggak tahu diri!”
Seketika
aku menjerit dan menangis, tak peduli orang-orang yang menyimak pertengkaranku
dengan Reno.
“Silahkan,
tampar aja lagi kalau itu bisa bikin kamu seneng! Kurang apa sih aku di matamu,
Ren? Aku selalu sabar, ngalah, nurut sama kamu. Tapi kamu malah semakin
menjadi-jadi! Aku bisa maklum kalau kamu jadi pemarah kayak gini gara-gara
Ujian Nasional. Tapi makin lama kamu makin nggak kontrol tahu nggak!”, tuturku
dipadu dengan tangisan yang menjadi-jadi. Kulihat belasan pasang mata menatap
sinis ke arah Reno, dan menyalurkan simpati ke arahku. Kulihat muka Reno yang
geram sekejap menjadi lembut dan penyayang. Dia memegang tanganku dan segera
mengajakku keluar dari posisinya yang terpojokkan. Ia membawaku ke halaman
belakang sekolah.
“Udah,
lupain kejadian tadi. Anggap aja kita nggak pernah bertengkar kayak gitu. Aku
minta maaf, aku terlalu lancang nampar kamu. Aku ngelakuin itu karena aku
sayang kamu.”, jelasnya sambil membelai rambut dan memelukku. Aku merasakan
pelukannya yang terlalu kuat, bagaikan cengkeraman elang kepada mangsanya, yang
membuatku tak nyaman. Namun sekali lagi, setidaknya dia kembali lagi untukku,
dan cinta inilah sang pemenang situasi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Pengumuman
kelulusan telah berhasil memenangkan hati para pejuang di seluruh penjuru tanah
air. Sorak-sorai, teriakan kemenangan, tawa lepas, dan warna-warni yang
menghiasi seragam turut mewakili apa yang aku rasakan sekarang. Kebahagiaan
yang menggelayuti hatiku dan Reno, seakan menghapus segala problema yang telah
terjadi di hari lalu. Senyumnya yang manis dan tawanya yang renyah, mampu
menggerakkan bibirku untuk sedikit menorehkan rasa senyum. Kata ‘LULUS’ yang
tertera, dibubuhi dengan nilai-nilai maksimal di ijazahnya, ternyata sesuai
dengan harapanku dan dia. Kami segera merayakan kemenangan di sebuah kafe
favorit kami.
“Aku
bahagia, kalau kamu bahagia kayak gini. Senyummu segala-galanya buat aku,
Ren.”, kataku dengan pandangan penuh makna. Reno hanya tersenyum dan segera
memegang tanganku dengan penuh kelembutan. “Terima kasih buat selama ini,
Cinta. Kamu selalu ngasih semangat ke aku buat belajar lebih giat. Terima kasih
juga buat sayangnya ke aku.” Aku hanya bisa tertawa mendengar kata-katanya.
“Sebentar
lagi, kita bakalan jauh, kepisah, nggak bisa sama-sama lagi setiap saat kayak
dulu.” Aku hanya tersenyum mendengarkan keluhannya, seakan mengetahui seberapa
besar kesedihannya meninggalkanku.
“Ingat
janji kita, Ren. Saling setia, saling percaya, jaga komitmen. Yang paling
penting, harus bersikap lebih dewasa lagi.”
“Iya,
maafin aku, Sayang, kalau aku selama ini egois ke kamu. Janji ya, bakal selalu
menjaga komitmen kita.”
Senyuman
yang terpaut pada wajahnya dan wajahku, mungkin sebentar lagi akan sirna
terhapus waktu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah
dua bulan, dan hampir tiga bulan, kami menjalani Long Distance Relationship, hubungan jarak jauh yang terkadang
memberikan nikmat maupun siksaan. Awalnya, semua berjalan mulus seperti yang
seharusnya. Namun sebulan belakangan, aku merasa dirinya dikejar ‘death’line
yang sangat bengis, yang memaksaku untuk terpaku diam tanpa disuruh tahu
mengenai kabarnya. Reno sama sekali jarang memberikan kabar untukku. Bahkan,
untuk sekedar bertanya sedang apa pun, kuantitatif pun bisa aku menangkan.
Sampai
suatu hari, aku membuka pesan masuk yang ada di akun jejaring sosialnya.
Kulihat percakapan antara Reno dengan perempuan yang sangat akrab, mesra, dan
memiliki janji untuk saling bertemu. Tanpa terasa air mataku mengalir di pipi.
Semudah itukah dia berpaling dariku? Atau ini hanyalah paparan keakrabannya
saja dengan teman kuliahnya, pikirku. Kuyakinkan diriku sendiri untuk tetap
mempertahankan sang pemenang. Cinta.
Hingga
saat Reno kembali ke kampung halaman dan memutuskan untuk bertemu di kafe
bandara sore hari, keceriaanku tidak setara dengan yang sebelumnya.
“Gimana
kuliahnya, enak? Kok jarang banget ngasih kabar?”, tanyaku.
“Emang
sibuk banget kok. Kebetulan aku ikut organisasi disana. Jadi ya…gitu deh.”
Tiba-tiba
telepon genggamnya berdering. Dengan sigap ia mengangkat panggilan dan
menjauhkannya dariku. Aku pun mulai menaruh curiga hingga dia kembali.
“Siapa?”,
tanyaku datar.
“Saudaraku.
Katanya ada masalah penting di rumah. Aku mau pulang dulu.” Reno meninggalkanku
tanpa sepatah kalimat sayang yang ia cuatkan. Haruskah aku memaafkan, lagi?
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semenjak
kepulangan pertamanya itu, perubahan drastis terjadi lagi. Bahkan lebih
‘anjlok’ dari yang terdahulu. Reno selalu marah-marah, mengeluarkan caci dan
maki apabila ia lelah dalam menghadapi aktivitasnya. Serendah itukah posisiku
untuk dijadikan tempat pelampiasan amarahnya? Bahkan, seringkali apa yang
dikatakannya kepadaku, berbeda dengan apa yang ia tulis di pena maya akunnya.
Aku pun berfikir, apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Hingga dalam setiap
pertengkaran, dirinya selalu mengandalkan kata ‘putus’ di setiap argumennya.
Dan dengan bodohnya aku menitikkan air mata untuknya, dan tidak menyerah untuk
berhenti memaafkan sifatnya.
Hingga
sampai suatu saat, itulah akhir dari kesabaran yang diberikan Tuhan kepadaku.
Dengan jelas kulihat percakapannya dengan wanita yang sama, membubuhkan tanda
titik dua bintang dan kata-kata sayang. Terasa sayap-sayap yang telah melekat
di hati, patah dengan kerdipan mata. Mengapa Reno tidak menghapus pesan
pengkhianatannya dariku? Apakah dia sengaja ingin menunjukkan?
Segera
kuserang dia dengan ribuan kata-kata yang berusaha memojokkan dirinya. Dan
hanyalah sebuah khayalan belaka, bila ia membalasnya dengan jawaban-jawaban
mutiara.
“Terus
maumu apa, Cinta? Putus? Haha. Kamu selalu saja menyalahkan orang lain. Kamu
nggak pernah lihat dirimu sendiri kayak gimana. Kamu nyuruh aku jaga komitmen
tentang percaya dan setia, kamu pikir kamu udah bener ngelakuinnya? Kamu mau
putus? Yaudah putus aja silahkan!”
Aku
pun membalas pesan singkatnya diiringi jeritan hati dan buliran air mata yang
menetes, namun mantap kulakukan.
“Aku
lelah, Reno. Aku capek harus menunggu kesadaranmu. Aku capek nunggu kamu buat
ngembaliin kepercayaanku kayak dulu. Semua udah berubah. Kenangan-kenangan
manis udah buyar, membekas jadi sakit. Aku capek kamu egoisi, aku capek ngalah
terus, aku capek kamu rendahin terus. Silahkan Reno, asal itu bikin kamu
bahagia, aku ikut bahagia lihat kamu menemukan yang lebih baik dari aku. Asal,
lepasin aku. Lepasin aku dan semua kenangan yang ada di pikiranmu. Biarkan kita
putus, seperti yang seharusnya kamu katakan. Selamat berbahagia dengan kata
putus yang selalu kamu agungkan.”
Dengan
mantap aku mengirimnya. Aku hanya bisa terdiam sembari menahan luka. Kata-kata
sayang dan permintaan maaf yang ia lontarkan sekarang, tak beda halnya dengan sebuah
lubang yang berusaha menjebak mangsa untuk jatuh ke lubang yang sama. Ternyata
aku salah, ternyata aku tidak serapuh yang kukira. Ternyata aku bisa melewati
lubang kesakitan yang selama ini menjeratku, memenjarakan hatiku, membentuk
bingkai pengkhianatan. Komitmen tentang kepercayaan dan kesetiaan, hanyalah
sekedar kabar burung yang ia janjikan. Kesetiaan, yang mengingkari kejujurannya
sendiri. Dan kepercayaan, yang mengingkari keyakinannya sendiri. Mampukah aku
memaafkannya, lagi?
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar