Habis Gelap
Terbitlah Terang
Sinar matahari di hari Senin terasa begitu
menusuk tajam hingga retina mataku.Tapi entah mengapa, aku selalu siap sedia
untuk berangkat ke sekolah. Maklumlah, aku dapat mengenyam pendidikan atas
Bantuan Operasional Sekolah gratis di sekolahku, Madrasah Ibtidaiyah. Bukan
hanya aku, tapi masih terdapat beberapa siswa-siswi yang kurang mampu yang
mendapatkan hak sama denganku. Sekolahku memang tergolong sekolah rata-rata.
Berstandar Nasional, akreditasi B dari pemerintah pun cukup membanggakan dalam
wilayah pedesaan.
Di sekolah yang terdiri dari sekolah pagi dan
siang itu, aku mendapatkan jadwal masuk pagi. Sehingga saking semangatnya,
pagi-pagi buta aku segera melaksanakan ibadah, lalu menjalankan rutinitas
sehari-hari, dan berangkat sekolah yang tak jauh 300 meter dari ‘gubuk tua’ku..Namun,
setiap pagi jalanan terhambat karena di ujung gang sekolahku terdapat Sekolah
Dasar Negeri yang cukup terkenal, bermutu, dan elegan. Tak begitu heran bila
banyak pemilik tanah-tanah desa, juragan, bahkan pejabat lokal menyekolahkan
anaknya di situ.Terkadang aku berharap, apakah suatu saat aku bisa bersekolah
di sekolah negeri? Ah, rasanya begitu tabu. Mengingat ekonomi keluargaku dan
‘siapa’ aku, terkadang membuatku pesimis.Tapi aku bangga, aku sudah dapat
bersekolah sekarang.
Di ujung jalan, kulihat sosok bocah laki-laki
dengan gaya mentereng, melangkah perlahan ke arahku. Antonius, tetangga dekatku
yang kebetulan bersekolah di Sekolah Dasar Negeri itu.“Selamat pagi, Anton.
Berangkat sekolah bareng yuk!”, sapaku dengan senyum yang kutebar. Ia acuh tak
acuh melihatku, seraya berkata, “Huh, tahu diri dong, kamu sekolah dimana, aku sekolah dimana. Nggak usah sok kenal
deh, aku nggak suka kamu deket-deket aku terus, dasar anak turahan!”. Ia pun
pergi meninggalkanku, dengan gaya khasnya yang mendongakkan kepala sambil
berjalan, pantaslah saja ia seperti itu. Maklumlah, putra tunggal dari orang
nomor satu di desaku. Ia seorang anak piatu, hampir sama denganku sebagai seorang
anak yatim. Namun, hanyalah anak-anak orang terpandang yang pantas berteman
dengannya, terkecuali aku juga, seorang anak
turahan yang hanya beruntung mendapatkan kesempatan bersekolah. Aku sadar
itu.
Terdengar deritan bunyi bel sekolahku dari
kejauhan, aku segera lari dan masuk ke kelas.
“Assalamu’alaikum warrahmatullahi
wabarokatuh..Selamat pagi murid-muridku..”
“Wa’alaikum salam warrahmatullahi
wabarokatuh..selamat pagi Ibu Guru..”
“Alhamdulillah, kita semua masih diberi kesempatan
bertemu dan menuntut ilmu dengan keadaan sehat wal afiat.”
Sontak satu kelas menyerukan ‘Amin’ kepada Bu
Naini. Ia pun segera memulai pelajaran dengan membaca surat Al Fatihah dulu,
disambung dengan doa sebelum belajar. Pelajaran pertama pun dimulai.
“Anak-anak, pada pelajaran pertama Agama Islam
ini, Ibu akan membahas tentang sikap-sikap terpuji dalam kehidupan sehari-hari,
yang pertama adalah tentang kejujuran. Siapa dari kalian semua yang masih
berbohong kepada orang tua, ataupun orang lain? Curang? Tidak jujur?”,
pertanyaan Bu Naini seketika memecah kedok para muridnya. Semua pun tertawa dan
saling mengacungkan jari, termasuk aku. Bu Naini hanya tersenyum dan segera
meredam kegaduhan para muridnya. “Bagus. Dengan kalian mengacungkan jari dan mengakui
perbuatan kalian, berarti kalian telah melakukan suatu kejujuran, anak-anakku. Jajal kowe Le Ihsan, contoh ketidakjujuran apa sing mbok lakoni?”,
Tanya Bu Naini seraya menudingkan jari ke arahku. “Terkadang berbohong kepada
orang tua, Bu.”, sahutku perlahan. Terdengar beberapa anak saling terkikik. Bu
Naini pun mulai berbicara kembali, “Baik. Terkadang sesuatu yang kita anggap
kecil ternyata memiliki akibat yang cukup besar. Bagi kalian, berbohong atau
hal lainnya sebagai ketidakjujuran dipandang sebagai hal yang biasa. Tetapi
apabila kata ‘biasa’ itu berubah makna menjadi ‘kebiasaan’, maka otomatis
karakter kita telah terbentuk menjadi seorang pembohong. Contoh nyata saja di
era pembaharuan sekarang ini, banyak pejabat dan penguasa yang justru mengharamkan
pekerjaannya dengan cara korupsi uang rakyat. Dengan santainya ia menikmati
uang hasil dustanya itu demi ego semata. Dimanakah letak kecerdasan moralitas,
emosional, dan akhlak agama mereka? Untuk apa mengasah otak dan logika diri
hingga cerdas, bila dimanfaatkan ke dalam direksi yang menyesatkan kita.
Dijelaskan pada Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 70 dan 71, Allah berfirman, Wahai
orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan
yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni
dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia
menang dengan kemenangan yang agung. Apakah kalian ingin mendapatkan siksaan
dari Allah? Apakah kalian ingin dikatakan sebagai pembohong, pendusta besar?”
Dengan antusiasnya para murid berteriak,
“Tidak ingin, Bu Guru!!!”
“Maka dari itu, Le, Nduk, janganlah kita mempertajam ilmu perihal ilmu duniawi
semata. Namun ketahuilah, ilmu yang akan berguna untuk kalian, di dunia hingga
di akhirat nanti, hanyalah ilmu agama. Akhlak kalian, keimanan dan ketakwaan
kalian, wajib untuk kalian tingkatkan. Apalah guna memiliki otak yang cerdas di
segala bidang, bila iman dan takwa kita sangat lemah dan mudah tergoda iblis.
Naudzubillahi min dzalik.”.Semua siswa mengulang lafadz terakhir yang diucapkan
Bu Naini. Beliau segera melanjutkan materi pembelajaran dengan pelatihan
soal-soal. Para siswapun menyimak dan belajar dengan keseriusan yang mendalam.
----------------------------------------◙◙◙◙◙◙◙◙◙◙----------------------------------
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Derit
bel sekolah yang seakan ingin segera ‘diobati’ itu berbunyi. Para siswa
Madrasah Ibtidaiyah segera berlarian, berhamburan keluar, berlomba untuk masuk
rumah paling cepat. Tak jauh dari situ, terlihat siswa-siswi Sekolah Dasar
Negeri yang juga ikut menjadi indikator penghambat jalan. Dalam waktu 3 menit aku
sudah sampai di garis finish, yaitu
rumahku. Belum apa-apa, ibuku segera menghampiriku dengan tergesa-gesa.“Le, tulumg yo masakan iki terke ndisik ing
omahe Pak Restu, bapake Antonius. Soale wis dipesen diutus cepet iki mau. Ibuk
ameh ngentasi kumbahan, radha mendhung.”
“Lha
kula badhe Sholat Duha, Buk. Kula sholat Duha rumiyin, nggih!”
“Ya
Allah, Ihsan. Kowe mung ngeterke pirang menit tok tha? Lagian sholat Duha
sunnah wae kok, ra perlu kesusu! Mampir mushola sebelah wae mengko yo! Mengko
didukani Pak Restu. Ibu mengko ora isa kerja meneh!”
“Nggih
Buk, nggih. Budhal rumiyin.” Sambil
mengambil masakan yang telah dibawakan Ibu sebelumnya, aku bergegas pergi
menuju ke rumah Pak Restu, seorang pejabat terkaya di desa yang sekaligus ayah
dari Antonius.
Rumah yang memiliki luas berkisar 2 hektar
tersebut tampak sepi dari luar. Kulihat Antonius baru saja keluar dari
rumahnya.“Hey, Anton. Ayahmu ada di rumah?”, tanyaku. Ia hanya membalasku
dengan sebuah seringai mengolok, entah apa yang sedang ia maksudkan kepadaku.
“Ada di dalam, masuk saja.”, jawabnya singkat lalu pergi menuju pelataran
belakang rumah. Aku hanya termangut-mangut, dan segera bergegas masuk ke
rumahnya, yang kebetulan rumah itu memang sedang dalam keadaan terbuka.
“Assalamu’alaikum…” Tak terdengar jawaban
apapun dari dalam. “Assalamu’alaikum, Pak Restu…” Salam kedua pun belum
dijawabnya. Sehingga ketika salam ketiga yang kuucapkan belum juga ada respon,
aku bermaksud untuk kembali saja ke rumah. Namun, situasi telah merubahku. Aku
merasakan getaran yang begitu hebat pada ‘kantung pribadi’ku. Aku mencoba untuk
menahan sebentar, sekiranya bila si tuan rumah keluar dari kediamannya. Tapi
tak ada tanda-tanda. Segera aku meninggalkan manci masakan di meja ruang tamu
untuk pergi ke kamar kecil mushola yang kebetulan berada di sebelah kiri rumah
Pak Restu.
Ketika aku kembali ke rumah Pak Restu,
terlihat beberapa orang berkerumun di depan rumahnya. Aku cepat-cepat
menghampiri, sekaligus ingin menyerahkan masakan ibu secara resmi.
“Maling sialan!! Berani-beraninya mencuri uang
di laci lemari rumah!! Saya yakin , ini pasti perilaku anaknya Bu Hesti!!!”,
seruan Pak Restu begitu nyinyir di telingaku dan gelombang suaranya terasa
begitu menghantam dahsyat di hatiku. Aku dituduh mencuri uang Pak Restu.
Tiba-tiba salah seorang warga yang melihatku sedang
berdiri termangu di halaman rumah Pak Restu, seketika berteriak, “Itu dia
malingnya!!!” Bagaikan berada di dalam medan perang, semua warga yang bergumul
segera menoleh ke arahku, seakan musuh telah berhasil ditekuk. Aku bingung
harus bagaimana. Panik, sedih, ataukah tak tahu apa-apa?
Beberapa orang dengan kasar menyeretku ke Pak
Restu. Aku mencoba untuk berontak, tapi cengkeraman mereka terlalu kuat. Kulihat
ibuku sedang menangis dibawah Pak Restu dengan tatapan nanar. Aku tidak
menyangka, sesuatu yang sama sekali tidak aku ketahui, justru menjadikan aku seperti
sampah masyarakat. “Jawab saja bocah kecil. Kau kan yang mencuri uangku di laci
lemari itu? Dengan pintarnya kau mengambil sebagian dari seluruh uangku supaya
curianmu tidak kentara! Tapi bodohnya kau yang lupa menutup kembali laci
lemariku dan kau lupa untuk mengambil tempat makananmu yang tak tahu dosa,
sehingga ikut dipersalahkan. Dasar bocah kecil tak tahu aturan!!”, keluar
makian panjang lebar berlogat Batak yang diucapkan Pak Restu.
“Demi Tuhan, Pak Restu. Demi Allah. Demi Maha
Penguasa Langit seisi-isinya, saya tidak mencuri uang anda. Saya sama sekali
tidak pernah mempunyai pemikiran begitu dalam hidup saya. Saya tidak tahan
untuk pergi ke kamar kecil. Karena tidak ada jawaban dari dalam rumah, saya
pergi ke mushola untuk buang hajat, dan meninggalkan makanan itu, Pak!”
“Tidak usah banyak alasan, bocah kecil!! Ada
dua saksi yang mengetahui kau masuk ke rumahku secara seenaknya. Anakku, dan
tukang kebunku! Dan kata mereka, tidak ada lagi orang yang masuk ke rumah
setelah kau. Kau pikir mereka pembohong? Jadi, kaulah pencurinya!!! Kembalikan
uangku! Pintar sekali kau, Nak, membohongi orang banyak!!”
Bagaikan mesin otomatis, para warga berteriak
dan mengeluarkan kata-kata umpatan, caci-maki, kepadaku dan juga ibuku. Aku menangis
melihat ibuku yang semakin menangis menjadi-jadi. Aku diseret keluar, dan
dibawa ke suatu tempat di mana aku sudah tidak sadarkan diri lagi. Namun, masih
terdengar lengking tangisan ibuku yang menyayat hati, seakan memanggilku untuk
kembali dari kejauhan. Jauh..jauh..hingga nyaris tak terdengar lagi.
-----------------------------------◙◙◙◙◙◙◙◙◙◙--------------------------------
Kurasakan goncangan hebat yang mampu
membangunkanku dari ketidaksadaran diri. Terlihat dua orang paruh baya yang tak
kukenal di depanku, mengenakan seragam dengan warna perpaduan antara coklat
dengan krem, dihiasi dengan topi di kepala mereka. “Sudah sadar, Ihsan? Mari
kami antarkan ke ruang.”, mereka membantuku untuk bangun dengan setengah
menarik kencang. Siapa mereka? Darimana
mereka tahu namaku? Ruang apakah yang mereka maksud? Pikirku. Aku pun
segera digelandang keluar. Terdengar deru mesin pengetik yang semakin dekat,
diiringi dengan pemandangan mengerikan di sisi kanan dan kirinya. PENJARA.
Benar, aku berada di penjara! Aku dipenjara! Dulu, aku sering mengantarkan
pesanan makanan penjaga-penjaga ini dari ibuku, di sini. Dan sekarang, aku
menjadi penghuninya? Rasanya aku ingin pingsan lagi, tapi aku harus tetap bisa
menguasai kesabaran, emosi, dan keadaan. Terlihat Pak Restu, Antonius, dan Pak
Doni, tukang kebun Pak Restu. Mereka seperti sedang ditanyai seorang polisi
tentang peristiwa yang dialami Pak Restu. Mengapa mereka menuduhku dengan
mudahnya? Seakan aku seperti pencuri ulung yang terkenal di desa. Mengapa
mereka begitu tidak jujur? Siapakah dalang di balik sandiwara semua ini? Tegakah
Pak Restu memenjarakanku, melanggar aturan hukum yang tidak memperbolehkan anak
di bawah umur unutk merasakan pahitnya hidup di balik jeruji besi? Ingin sekali
aku menghampiri mereka, menyerukan kata umpatan. Tapi apa daya, ketika jabatan
lebih berkuasa. Sebagai hamba Tuhan, aku hanya bisa bersabar dan mengucap kata
istighfar, seraya menunggu turunnya keadilan Tuhan.
Aku pun masuk ke dalam ruang jeruji besi. Sebuah
tempat yang bersuhu dingin, gelap, berdebu, dan terkadang terdapat suara-suara
aneh di atap. Aku segera dilempar masuk oleh penjaga ruang tahanan itu,
kemudian berkata, “Selamat menikmati buah dari hasil tanamanmu, Nak.” Mereka
pun menutup pintu. Deritan besi pintu yang berkarat semakin membuatku bergidik
nyeri.
Tak lama berselang, Pak Restu, Antonius, dan
Pak Doni berdiri dari ‘kursi pertanyaan’. Mereka menghampiriku. “Bocah kecil,
selamat bersenang-senang atas buah dari perilakumu itu. Kuhitung, kau mencuri
uangku sebesar 2 juta dari 690 miliar yang aku punya. Hebat sekali kau, Nak.” Aku
hanya bisa terdiam dan menangis menggelayuti besi pintu sel yang ada. Rasanya
lidahku begitu kelu, sakit untuk berucap. “Kalau kau dan ibumu tidak bisa
mengembalikan uangku segera, hukum akan lebih lama memenjarakanmu!!!”, Pak
Restu pun pergi meninggalkanku diiringi dengan Antonius yang melemparkan seringai
ejekan ke arahku, dan diikuti dengan tatapan enggan pada Pak Doni. Mengapa Pak
Doni justru terlihat takut kepadaku? Hanya Tuhan yang mampu menjawabnya.
-----------------------------------◙◙◙◙◙◙◙◙◙◙--------------------------------
Kuingin
doaku mengalir
Menuju
sebuah pangkal
Bermuara ke
pengharapan, yaitu pengkabulan
Kuingin
kalimat syahadat selalu terlafadzkan di bibir ini
Menuju
pada suatu kesimpulan
Bermuara
ke pengharapan, yang bernama ampunan
Sudah hampir berapa banyak bulir air mata yang
terjatuh di ujung penampang wajahku .Mereka terus terjun dengan mudahnya, diiringi
dengan pekikan tertahan. Tuhan Mendengar, dan Tuhan Melihat, sehingga Ia
memberikanku petir di malam itu untuk berdebat dengan rajutan doa yang aku
uraikan. Di luar, terdengar derap langkah sepatu para penjaga jeruji besi.
Ternyata benar, mereka datang untuk menyerahkan santapan malam para
‘pasiennya’.
“Jatah makan malammu, Nak, makan seadanya, dan
jangan banyak bicara, Pencuri.”
Begitukah julukan yang mereka embel-embelkan
padaku? Setiap mendengar kata tersebut, kesabaran hatiku terasa ingin goyah,
memberontak seketika. Tajamnya pisau takkan sanggup diibaratkan dengan
kepedihan luka di hati ini. Namun apa daya, hukumlah yang lebih berkuasa. Ya,
aku paling tidak suka bila dianggap sebagai pencuri, karena aku memang bukan
seorang pencuri!!!!! Betapa kerdil moralitas hakiki para penegak hukum di
Indonesia, yang lebih mengobralkan uang fana ketimbang kejujuran.
Sudah hampir sepuluh malam aku mendekam di ruang
tahanan, dan sudah hampir sepuluh malam ini tidak ada satu pun orang yang datang
mengunjungiku di sini. Guruku, teman-temanku di sekolah, teman bermainku di
lingkup tetangga, bahkan ibuku sendiri tidak datang untuk sekedar mengetahui kabarku
di sini. Di mana mereka? Mengapa mereka begitu tega kepadaku? Apakah mereka
sudah tidak menganggapku ada? Apakah mereka benar-benar tidak mempercayaiku? Seakan
dunia ini memang tak adil, karena aku hanyalah seorang bocah laki-laki kecil
kelas enam SD yang berasal dari keluarga menengah kebawah. Begitu sakit hati
ini menelan pil kepahitan bahwa tidak ada satu pun orang yang datang memberiku
semangat dan dorongan untuk tetap kuat bertahan hidup di sini. Aku hanya bisa
menangis dan memanjatkan doa lewat malam-malam suram yang telah aku lewati
sepanjang ini.
---------------------------------------◙◙◙◙◙◙---------------------------------------
“Bangun, Nak. Waktunya sarapan pagi.” Terdengar
teriakan khas lelaki paruh baya yang menjaga ruang tahanan. Dentingan piring
dan sendok yang dilempar semakin membangunkanku dari mimpi buruk. Di dinding,
jam menunjukkan pukul 07.00 WIB. Aku sadar, aku bangun kesiangan. Untung saja
tadi pagi sholat Subuh telah aku segerakan. Dengan lahap kumakan sarapan pagi
yang ala kadarnya. Belum lama aku menyantap, terdengar derap langkah penjaga menuju ke arahku. “Nak, ada tamu pertama untukmu.”
Ia pun membuka pintu yang berderit mengerikan. Aku dibawa menujut tempat tamu
dengan kepalang senang.
Sosok
wanita berkerudung keibuan dan sejumlah anak-anak sebayaku yang langsung saja
kukenal. Bu Naini dan teman-teman! Aku berlari dengan riang lalu memeluk
mereka, terjadi adu tangis yang menerpa. “Cuma lima belas menit! Mumpung hari
Minggu.”, teriak penjaga ruang tahanan. Aku tak begitu memperdulikannya. Mungkin
aku terlalu bahagia dengan kehadiran mereka.
“Alhamdulillah..akhirnya
Bu Naini datang juga bersama teman-teman. Saya sangat senang sekali Bu, karena
baru pertama kali ini saya dikunjungi oleh orang luar. Bahkan ibu saya belum
menjenguk saya, Bu.”, curhatku dengan isak tangis yang mendalam.
“Maafkan
kami, Ihsan. Kami tidak bermaksud melupakan kamu. Di desa, kami, termasuk
sekolah, mendapatkan hujaman keras dari Pak Restu selaku Kepala Desa. Sekolah
tidak bisa berbuat apa-apa ketika malu pun ditanggung. Tetapi Bu Naini dan
teman-temanmu tidak akan pernah malu memiliki murid dan teman yang cerdas
seperti kamu. Kami percaya padamu, Nak.”, jelas Bu Naini diiringi dengan
tangisan anak-anak lain. “Oh iya, Ihsan. Ada kabar burung yang mengatakan bahwa
Pak Restu tersandung kasus korupsi. Dan uang yang ia gunakan sebagian merupakan
hasil korupsi. Tapi entah kabar itu benar atau tidak, yang jelas berita itu
begitu gempar di desa. Percayalah, Tuhan akan segera menurunkan keadilan-Nya,
dan semua orang akan tahu siapa dalang dari peristiwamu ini. Akan terlihat siapa
yang jujur, siapa yang tidak, Nak. Ingat kata Ibu, kejujuran adalah hal
terindah yang mampu membawa manusia masuk ke arah jalan cahaya yaitu jalan
kebenaran.” Segera kami berpelukan kembali. Anak-anak yang lain masih
menyerukan tangisan masing-masing. “Percaya, Ihsan. Allah akan memberikan
balasan buat siapa yang tidak jujur kepada diri sendiri, orang lain, maupun
Allah!”, seru temanku, Vita, dengan suara cemprengnya yang khas. Semakin
terdengar tangis kerinduan dari mereka, semakin memaksaku untuk bertanya. Tuhan,
kapankah aku bisa pulang?
Di
balik acara temu kangen yang terjadi, masuklah sesosok wanita yang sangat amat
kukenal. Ibu! Akhirnya seseorang yang paling kunanti-nanti telah hadir di depan
mata, seseorang yang paling aku kecewakan karena tragedi yang menimpaku.
Sosoknya tampak pucat, bermata sayu sembab, dan terlihat sangat lelah. Segera
kupeluk sosok ibuku. “Ini dia hadiah dari kami, Ihsan. Selama ini ibumu tidak
bisa menjengukmu karena beliau memang tidak keluar rumah sama sekali. Ibumu
takut dengan apa kata tetangga. Ibumu juga belum siap untuk melihatmu
menangis.” Pernyataan Bu Naini membuatku semakin tertusuk. Apa salah ibuku,
Tuhan? Hingga ia harus mengalami derita pahit seperti ini. Dan semua itu
gara-gara aku!
“Buk, Ihsan nyuwun pangapunten. Ihsan
cuman saged nguciwani. Ihsan mboten wonten ginane kangge Ibuk. Naming Demi
Allah, Buk, Ihsan mboten kedah nyolong. Sumpah, Buk!”
“Ora ngapa-ngapa, Le. Ibuk reti. Ibuk
percaya yen kowe ora bakal nyolong. Ibuk ngerti Ihsan iku kayak piye. Ibuk
njaluk ngapura Le, yen durung tau mrene njenguk kowe. Ibuk bingung ameh numpak
apa. Yen metu, mesti Ibuk dirasan-rasani. Iki wayahe Ibuk mrene, sekaliyan ameh
ngomong ning kowe yen Pak Restu kena kasus korpusi, Le. Lan sing paling penting
yaiku ana suwara yen ana bocah SMP wingi ing daleme Pak Restu ameh wawancara
kanggo tugas sekolah, iku ngerti ana bocah lanang cilik lagi mbukaki lemari
karo njipuk artane Pak Restu. Jebule bocah iku putrane Pak Restu dewe, Antonius!”Serentak, aku, Bu Naini, dan teman-temanku
terlonjak kaget. Seorang Antonius? Anak orang kaya nomor satu di desa, anak
yang cerdas, murid dari sekolah ternama, justru mencuri?
“Astaghfirullahaladzim. Apa leres
Buk niku? Antonius? Anton kan putrane Pak Restu piyambak! Ibuk ngertos pawarta
menika saking pundi?”
“Bener, Le. Ing desa lagi rame
kabare Antonius lan bapake iku. Bocah SMP sing jenenge, Maria, Bela, Wartini
iku iseng ngrekam aksine Anton! Cah telu iku ora reti yen maksude Anton ameh
maling. Videone lagi diwehke polisi sakwise reti berita tentang kowe gempar. Anton
karo Pak Restu lagi diproses karo polisi pekara kasuse dewe-dewe. Ya Allah, Le,
Gusti Allah pancen Maha Adil. Kowe bakal dibebaske yen wong lara iku sida
dinyatake bersalah. Kowe ndang bali ya, Le!”
Semua
pun ikut menangis, tersenyum, terisak, dan entah perwujudan emosional apa lagi
yang telah terbentuk setelah Ibuku menyatakan perihal jawaban dari Tuhan. Ya,
kemungkinan aku akan segera bebas bila kedok Antonius dan Pak Restu terbongkar
dengan cepatnya!
----------------------------------------◙◙◙◙◙◙◙◙◙◙----------------------------------------
Sinar matahari di hari Minggu terasa menusuk
tajam hingga retina mataku, terkecuali dengan tusukan di hati yang telah
terobati. Kuhirup udara sejuk di depan rumahku. Pertanda bebas. Tuhan memang
selalu menunjukkan Kuasa-Nya. Kebenaran telah tersingkap. Pak Restu dinyatakan
bersalah setelah menggunakan uang rakyat sebesar 690 miliar rupiah, berupa uang
desa dalam kota dan uang relasi dengan desa tetangga. Ia dijatuhi hukuman 15
tahun penjara. Sedangkan Antonius? Menikmati makanan-makanan istimewa di rumah,
duduk-duduk sambil menonton TV, dan bermain Playstation
sepuasnya. Tapi apalah arti sebuah kebahagiaan lahir, bila kebahagiaan
batin telah sirna. Kehilangan kasih sayang seorang ibu, kehilangan sosok ayah,
dan juga kehilangan kepedulian dari masyarakat sekitar. Semua orang di sekitar
rumah, termasuk juga di sekolahnya, mencoba menghindar sehindar-hindarnya dari
sisi Anton. Teman pengusir kesepiannya hanyalah Pak Doni, tukang kebun yang ia
bayar mulutnya demi merahasiakan uang haram yang diambil hanya untuk
dihura-hurakan saja. Untuk apa memiliki orangtua yang kaya bila tak pernah diberi
perhatian?
Kini aku mengerti. Kekuasaan bisa membeli
hukum untuk digunakan dengan sewenang-wenang, tetapi kekuasaan tidak akan bisa
membeli kasih sayang. Rakyat bawah hanya bisa dijadikan korban dari sebuah
tindakan yang tidak beradab. Kejujuran, yang terdengar hanyalah sepenggal kata
sederhana, justru pengendali utama sebuah pribadi. Siapa yang akan menanam buah
kebaikan, akan merasakan kemanisannya. Begitu pula dengan kejujuran.“Qullil haqqo walau kaana muuron”,
Katakanlah kebenaran walaupun itu pahit adanya. Ingatlah, bahwa sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui dari segala macam zat terkecil apapun di dunia ini.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar