Kamis, 21 Agustus 2014

Cerpen ( My Pure Creation )

Habis Gelap Terbitlah Terang

Sinar matahari di hari Senin terasa begitu menusuk tajam hingga retina mataku.Tapi entah mengapa, aku selalu siap sedia untuk berangkat ke sekolah. Maklumlah, aku dapat mengenyam pendidikan atas Bantuan Operasional Sekolah gratis di sekolahku, Madrasah Ibtidaiyah. Bukan hanya aku, tapi masih terdapat beberapa siswa-siswi yang kurang mampu yang mendapatkan hak sama denganku. Sekolahku memang tergolong sekolah rata-rata. Berstandar Nasional, akreditasi B dari pemerintah pun cukup membanggakan dalam wilayah pedesaan.
Di sekolah yang terdiri dari sekolah pagi dan siang itu, aku mendapatkan jadwal masuk pagi. Sehingga saking semangatnya, pagi-pagi buta aku segera melaksanakan ibadah, lalu menjalankan rutinitas sehari-hari, dan berangkat sekolah yang tak jauh 300 meter dari ‘gubuk tua’ku..Namun, setiap pagi jalanan terhambat karena di ujung gang sekolahku terdapat Sekolah Dasar Negeri yang cukup terkenal, bermutu, dan elegan. Tak begitu heran bila banyak pemilik tanah-tanah desa, juragan, bahkan pejabat lokal menyekolahkan anaknya di situ.Terkadang aku berharap, apakah suatu saat aku bisa bersekolah di sekolah negeri? Ah, rasanya begitu tabu. Mengingat ekonomi keluargaku dan ‘siapa’ aku, terkadang membuatku pesimis.Tapi aku bangga, aku sudah dapat bersekolah sekarang.
Di ujung jalan, kulihat sosok bocah laki-laki dengan gaya mentereng, melangkah perlahan ke arahku. Antonius, tetangga dekatku yang kebetulan bersekolah di Sekolah Dasar Negeri itu.“Selamat pagi, Anton. Berangkat sekolah bareng yuk!”, sapaku dengan senyum yang kutebar. Ia acuh tak acuh melihatku, seraya berkata, “Huh, tahu diri dong, kamu sekolah dimana, aku sekolah dimana. Nggak usah sok kenal deh, aku nggak suka kamu deket-deket aku terus, dasar anak turahan!”. Ia pun pergi meninggalkanku, dengan gaya khasnya yang mendongakkan kepala sambil berjalan, pantaslah saja ia seperti itu. Maklumlah, putra tunggal dari orang nomor satu di desaku. Ia seorang anak piatu, hampir sama denganku sebagai seorang anak yatim. Namun, hanyalah anak-anak orang terpandang yang pantas berteman dengannya, terkecuali aku juga, seorang anak turahan yang hanya beruntung mendapatkan kesempatan bersekolah. Aku sadar itu.
Terdengar deritan bunyi bel sekolahku dari kejauhan, aku segera lari dan masuk ke kelas.
“Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarokatuh..Selamat pagi murid-muridku..”
“Wa’alaikum salam warrahmatullahi wabarokatuh..selamat pagi Ibu Guru..”
“Alhamdulillah, kita semua masih diberi kesempatan bertemu dan menuntut ilmu dengan keadaan sehat wal afiat.”
Sontak satu kelas menyerukan ‘Amin’ kepada Bu Naini. Ia pun segera memulai pelajaran dengan membaca surat Al Fatihah dulu, disambung dengan doa sebelum belajar. Pelajaran pertama pun dimulai.
“Anak-anak, pada pelajaran pertama Agama Islam ini, Ibu akan membahas tentang sikap-sikap terpuji dalam kehidupan sehari-hari, yang pertama adalah tentang kejujuran. Siapa dari kalian semua yang masih berbohong kepada orang tua, ataupun orang lain? Curang? Tidak jujur?”, pertanyaan Bu Naini seketika memecah kedok para muridnya. Semua pun tertawa dan saling mengacungkan jari, termasuk aku. Bu Naini hanya tersenyum dan segera meredam kegaduhan para muridnya. “Bagus. Dengan kalian mengacungkan jari dan mengakui perbuatan kalian, berarti kalian telah melakukan suatu kejujuran, anak-anakku. Jajal kowe Le Ihsan, contoh ketidakjujuran apa sing mbok lakoni?”, Tanya Bu Naini seraya menudingkan jari ke arahku. “Terkadang berbohong kepada orang tua, Bu.”, sahutku perlahan. Terdengar beberapa anak saling terkikik. Bu Naini pun mulai berbicara kembali, “Baik. Terkadang sesuatu yang kita anggap kecil ternyata memiliki akibat yang cukup besar. Bagi kalian, berbohong atau hal lainnya sebagai ketidakjujuran dipandang sebagai hal yang biasa. Tetapi apabila kata ‘biasa’ itu berubah makna menjadi ‘kebiasaan’, maka otomatis karakter kita telah terbentuk menjadi seorang pembohong. Contoh nyata saja di era pembaharuan sekarang ini, banyak pejabat dan penguasa yang justru mengharamkan pekerjaannya dengan cara korupsi uang rakyat. Dengan santainya ia menikmati uang hasil dustanya itu demi ego semata. Dimanakah letak kecerdasan moralitas, emosional, dan akhlak agama mereka? Untuk apa mengasah otak dan logika diri hingga cerdas, bila dimanfaatkan ke dalam direksi yang menyesatkan kita. Dijelaskan pada Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 70 dan 71, Allah berfirman, Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung. Apakah kalian ingin mendapatkan siksaan dari Allah? Apakah kalian ingin dikatakan sebagai pembohong, pendusta besar?”
Dengan antusiasnya para murid berteriak, “Tidak ingin, Bu Guru!!!”
“Maka dari itu, Le, Nduk, janganlah kita mempertajam ilmu perihal ilmu duniawi semata. Namun ketahuilah, ilmu yang akan berguna untuk kalian, di dunia hingga di akhirat nanti, hanyalah ilmu agama. Akhlak kalian, keimanan dan ketakwaan kalian, wajib untuk kalian tingkatkan. Apalah guna memiliki otak yang cerdas di segala bidang, bila iman dan takwa kita sangat lemah dan mudah tergoda iblis. Naudzubillahi min dzalik.”.Semua siswa mengulang lafadz terakhir yang diucapkan Bu Naini. Beliau segera melanjutkan materi pembelajaran dengan pelatihan soal-soal. Para siswapun menyimak dan belajar dengan keseriusan yang mendalam.
----------------------------------------◙◙◙◙◙◙◙◙◙◙----------------------------------

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Derit bel sekolah yang seakan ingin segera ‘diobati’ itu berbunyi. Para siswa Madrasah Ibtidaiyah segera berlarian, berhamburan keluar, berlomba untuk masuk rumah paling cepat. Tak jauh dari situ, terlihat siswa-siswi Sekolah Dasar Negeri yang juga ikut menjadi indikator penghambat jalan. Dalam waktu 3 menit aku sudah sampai di garis finish, yaitu rumahku. Belum apa-apa, ibuku segera menghampiriku dengan tergesa-gesa.“Le, tulumg yo masakan iki terke ndisik ing omahe Pak Restu, bapake Antonius. Soale wis dipesen diutus cepet iki mau. Ibuk ameh ngentasi kumbahan, radha mendhung.”
“Lha kula badhe Sholat Duha, Buk. Kula sholat Duha rumiyin, nggih!”
“Ya Allah, Ihsan. Kowe mung ngeterke pirang menit tok tha? Lagian sholat Duha sunnah wae kok, ra perlu kesusu! Mampir mushola sebelah wae mengko yo! Mengko didukani Pak Restu. Ibu mengko ora isa kerja meneh!”
“Nggih Buk, nggih. Budhal rumiyin.” Sambil mengambil masakan yang telah dibawakan Ibu sebelumnya, aku bergegas pergi menuju ke rumah Pak Restu, seorang pejabat terkaya di desa yang sekaligus ayah dari Antonius.
Rumah yang memiliki luas berkisar 2 hektar tersebut tampak sepi dari luar. Kulihat Antonius baru saja keluar dari rumahnya.“Hey, Anton. Ayahmu ada di rumah?”, tanyaku. Ia hanya membalasku dengan sebuah seringai mengolok, entah apa yang sedang ia maksudkan kepadaku. “Ada di dalam, masuk saja.”, jawabnya singkat lalu pergi menuju pelataran belakang rumah. Aku hanya termangut-mangut, dan segera bergegas masuk ke rumahnya, yang kebetulan rumah itu memang sedang dalam keadaan terbuka.
“Assalamu’alaikum…” Tak terdengar jawaban apapun dari dalam. “Assalamu’alaikum, Pak Restu…” Salam kedua pun belum dijawabnya. Sehingga ketika salam ketiga yang kuucapkan belum juga ada respon, aku bermaksud untuk kembali saja ke rumah. Namun, situasi telah merubahku. Aku merasakan getaran yang begitu hebat pada ‘kantung pribadi’ku. Aku mencoba untuk menahan sebentar, sekiranya bila si tuan rumah keluar dari kediamannya. Tapi tak ada tanda-tanda. Segera aku meninggalkan manci masakan di meja ruang tamu untuk pergi ke kamar kecil mushola yang kebetulan berada di sebelah kiri rumah Pak Restu.
Ketika aku kembali ke rumah Pak Restu, terlihat beberapa orang berkerumun di depan rumahnya. Aku cepat-cepat menghampiri, sekaligus ingin menyerahkan masakan ibu secara resmi.
“Maling sialan!! Berani-beraninya mencuri uang di laci lemari rumah!! Saya yakin , ini pasti perilaku anaknya Bu Hesti!!!”, seruan Pak Restu begitu nyinyir di telingaku dan gelombang suaranya terasa begitu menghantam dahsyat di hatiku. Aku dituduh mencuri uang Pak Restu.
Tiba-tiba salah seorang warga yang melihatku sedang berdiri termangu di halaman rumah Pak Restu, seketika berteriak, “Itu dia malingnya!!!” Bagaikan berada di dalam medan perang, semua warga yang bergumul segera menoleh ke arahku, seakan musuh telah berhasil ditekuk. Aku bingung harus bagaimana. Panik, sedih, ataukah tak tahu apa-apa?
Beberapa orang dengan kasar menyeretku ke Pak Restu. Aku mencoba untuk berontak, tapi cengkeraman mereka terlalu kuat. Kulihat ibuku sedang menangis dibawah Pak Restu dengan tatapan nanar. Aku tidak menyangka, sesuatu yang sama sekali tidak aku ketahui, justru menjadikan aku seperti sampah masyarakat. “Jawab saja bocah kecil. Kau kan yang mencuri uangku di laci lemari itu? Dengan pintarnya kau mengambil sebagian dari seluruh uangku supaya curianmu tidak kentara! Tapi bodohnya kau yang lupa menutup kembali laci lemariku dan kau lupa untuk mengambil tempat makananmu yang tak tahu dosa, sehingga ikut dipersalahkan. Dasar bocah kecil tak tahu aturan!!”, keluar makian panjang lebar berlogat Batak yang diucapkan Pak Restu.
“Demi Tuhan, Pak Restu. Demi Allah. Demi Maha Penguasa Langit seisi-isinya, saya tidak mencuri uang anda. Saya sama sekali tidak pernah mempunyai pemikiran begitu dalam hidup saya. Saya tidak tahan untuk pergi ke kamar kecil. Karena tidak ada jawaban dari dalam rumah, saya pergi ke mushola untuk buang hajat, dan meninggalkan makanan itu, Pak!”
“Tidak usah banyak alasan, bocah kecil!! Ada dua saksi yang mengetahui kau masuk ke rumahku secara seenaknya. Anakku, dan tukang kebunku! Dan kata mereka, tidak ada lagi orang yang masuk ke rumah setelah kau. Kau pikir mereka pembohong? Jadi, kaulah pencurinya!!! Kembalikan uangku! Pintar sekali kau, Nak, membohongi orang banyak!!”
Bagaikan mesin otomatis, para warga berteriak dan mengeluarkan kata-kata umpatan, caci-maki, kepadaku dan juga ibuku. Aku menangis melihat ibuku yang semakin menangis menjadi-jadi. Aku diseret keluar, dan dibawa ke suatu tempat di mana aku sudah tidak sadarkan diri lagi. Namun, masih terdengar lengking tangisan ibuku yang menyayat hati, seakan memanggilku untuk kembali dari kejauhan. Jauh..jauh..hingga nyaris tak terdengar lagi.
-----------------------------------◙◙◙◙◙◙◙◙◙◙--------------------------------

Kurasakan goncangan hebat yang mampu membangunkanku dari ketidaksadaran diri. Terlihat dua orang paruh baya yang tak kukenal di depanku, mengenakan seragam dengan warna perpaduan antara coklat dengan krem, dihiasi dengan topi di kepala mereka. “Sudah sadar, Ihsan? Mari kami antarkan ke ruang.”, mereka membantuku untuk bangun dengan setengah menarik kencang. Siapa mereka? Darimana  mereka tahu namaku? Ruang apakah yang mereka maksud? Pikirku. Aku pun segera digelandang keluar. Terdengar deru mesin pengetik yang semakin dekat, diiringi dengan pemandangan mengerikan di sisi kanan dan kirinya. PENJARA. Benar, aku berada di penjara! Aku dipenjara! Dulu, aku sering mengantarkan pesanan makanan penjaga-penjaga ini dari ibuku, di sini. Dan sekarang, aku menjadi penghuninya? Rasanya aku ingin pingsan lagi, tapi aku harus tetap bisa menguasai kesabaran, emosi, dan keadaan. Terlihat Pak Restu, Antonius, dan Pak Doni, tukang kebun Pak Restu. Mereka seperti sedang ditanyai seorang polisi tentang peristiwa yang dialami Pak Restu. Mengapa mereka menuduhku dengan mudahnya? Seakan aku seperti pencuri ulung yang terkenal di desa. Mengapa mereka begitu tidak jujur? Siapakah dalang di balik sandiwara semua ini? Tegakah Pak Restu memenjarakanku, melanggar aturan hukum yang tidak memperbolehkan anak di bawah umur unutk merasakan pahitnya hidup di balik jeruji besi? Ingin sekali aku menghampiri mereka, menyerukan kata umpatan. Tapi apa daya, ketika jabatan lebih berkuasa. Sebagai hamba Tuhan, aku hanya bisa bersabar dan mengucap kata istighfar, seraya menunggu turunnya keadilan Tuhan.
Aku pun masuk ke dalam ruang jeruji besi. Sebuah tempat yang bersuhu dingin, gelap, berdebu, dan terkadang terdapat suara-suara aneh di atap. Aku segera dilempar masuk oleh penjaga ruang tahanan itu, kemudian berkata, “Selamat menikmati buah dari hasil tanamanmu, Nak.” Mereka pun menutup pintu. Deritan besi pintu yang berkarat semakin membuatku bergidik nyeri.
Tak lama berselang, Pak Restu, Antonius, dan Pak Doni berdiri dari ‘kursi pertanyaan’. Mereka menghampiriku. “Bocah kecil, selamat bersenang-senang atas buah dari perilakumu itu. Kuhitung, kau mencuri uangku sebesar 2 juta dari 690 miliar yang aku punya. Hebat sekali kau, Nak.” Aku hanya bisa terdiam dan menangis menggelayuti besi pintu sel yang ada. Rasanya lidahku begitu kelu, sakit untuk berucap. “Kalau kau dan ibumu tidak bisa mengembalikan uangku segera, hukum akan lebih lama memenjarakanmu!!!”, Pak Restu pun pergi meninggalkanku diiringi dengan Antonius yang melemparkan seringai ejekan ke arahku, dan diikuti dengan tatapan enggan pada Pak Doni. Mengapa Pak Doni justru terlihat takut kepadaku? Hanya Tuhan yang mampu menjawabnya.
-----------------------------------◙◙◙◙◙◙◙◙◙◙--------------------------------

Kuingin doaku mengalir
Menuju sebuah pangkal
Bermuara ke pengharapan, yaitu pengkabulan
Kuingin kalimat syahadat selalu terlafadzkan di bibir ini
Menuju pada suatu kesimpulan
Bermuara ke pengharapan, yang bernama ampunan

Sudah hampir berapa banyak bulir air mata yang terjatuh di ujung penampang wajahku .Mereka terus terjun dengan mudahnya, diiringi dengan pekikan tertahan. Tuhan Mendengar, dan Tuhan Melihat, sehingga Ia memberikanku petir di malam itu untuk berdebat dengan rajutan doa yang aku uraikan. Di luar, terdengar derap langkah sepatu para penjaga jeruji besi. Ternyata benar, mereka datang untuk menyerahkan santapan malam para ‘pasiennya’.
“Jatah makan malammu, Nak, makan seadanya, dan jangan banyak bicara, Pencuri.”
Begitukah julukan yang mereka embel-embelkan padaku? Setiap mendengar kata tersebut, kesabaran hatiku terasa ingin goyah, memberontak seketika. Tajamnya pisau takkan sanggup diibaratkan dengan kepedihan luka di hati ini. Namun apa daya, hukumlah yang lebih berkuasa. Ya, aku paling tidak suka bila dianggap sebagai pencuri, karena aku memang bukan seorang pencuri!!!!! Betapa kerdil moralitas hakiki para penegak hukum di Indonesia, yang lebih mengobralkan uang fana ketimbang kejujuran.
Sudah hampir sepuluh malam aku mendekam di ruang tahanan, dan sudah hampir sepuluh malam ini tidak ada satu pun orang yang datang mengunjungiku di sini. Guruku, teman-temanku di sekolah, teman bermainku di lingkup tetangga, bahkan ibuku sendiri tidak datang untuk sekedar mengetahui kabarku di sini. Di mana mereka? Mengapa mereka begitu tega kepadaku? Apakah mereka sudah tidak menganggapku ada? Apakah mereka benar-benar tidak mempercayaiku? Seakan dunia ini memang tak adil, karena aku hanyalah seorang bocah laki-laki kecil kelas enam SD yang berasal dari keluarga menengah kebawah. Begitu sakit hati ini menelan pil kepahitan bahwa tidak ada satu pun orang yang datang memberiku semangat dan dorongan untuk tetap kuat bertahan hidup di sini. Aku hanya bisa menangis dan memanjatkan doa lewat malam-malam suram yang telah aku lewati sepanjang ini.
---------------------------------------◙◙◙◙◙◙---------------------------------------

“Bangun, Nak. Waktunya sarapan pagi.” Terdengar teriakan khas lelaki paruh baya yang menjaga ruang tahanan. Dentingan piring dan sendok yang dilempar semakin membangunkanku dari mimpi buruk. Di dinding, jam menunjukkan pukul 07.00 WIB. Aku sadar, aku bangun kesiangan. Untung saja tadi pagi sholat Subuh telah aku segerakan. Dengan lahap kumakan sarapan pagi yang ala kadarnya. Belum lama aku menyantap, terdengar derap langkah penjaga  menuju ke arahku. “Nak, ada tamu pertama untukmu.” Ia pun membuka pintu yang berderit mengerikan. Aku dibawa menujut tempat tamu dengan kepalang senang.
            Sosok wanita berkerudung keibuan dan sejumlah anak-anak sebayaku yang langsung saja kukenal. Bu Naini dan teman-teman! Aku berlari dengan riang lalu memeluk mereka, terjadi adu tangis yang menerpa. “Cuma lima belas menit! Mumpung hari Minggu.”, teriak penjaga ruang tahanan. Aku tak begitu memperdulikannya. Mungkin aku terlalu bahagia dengan kehadiran mereka.
            “Alhamdulillah..akhirnya Bu Naini datang juga bersama teman-teman. Saya sangat senang sekali Bu, karena baru pertama kali ini saya dikunjungi oleh orang luar. Bahkan ibu saya belum menjenguk saya, Bu.”, curhatku dengan isak tangis yang mendalam.
            “Maafkan kami, Ihsan. Kami tidak bermaksud melupakan kamu. Di desa, kami, termasuk sekolah, mendapatkan hujaman keras dari Pak Restu selaku Kepala Desa. Sekolah tidak bisa berbuat apa-apa ketika malu pun ditanggung. Tetapi Bu Naini dan teman-temanmu tidak akan pernah malu memiliki murid dan teman yang cerdas seperti kamu. Kami percaya padamu, Nak.”, jelas Bu Naini diiringi dengan tangisan anak-anak lain. “Oh iya, Ihsan. Ada kabar burung yang mengatakan bahwa Pak Restu tersandung kasus korupsi. Dan uang yang ia gunakan sebagian merupakan hasil korupsi. Tapi entah kabar itu benar atau tidak, yang jelas berita itu begitu gempar di desa. Percayalah, Tuhan akan segera menurunkan keadilan-Nya, dan semua orang akan tahu siapa dalang dari peristiwamu ini. Akan terlihat siapa yang jujur, siapa yang tidak, Nak. Ingat kata Ibu, kejujuran adalah hal terindah yang mampu membawa manusia masuk ke arah jalan cahaya yaitu jalan kebenaran.” Segera kami berpelukan kembali. Anak-anak yang lain masih menyerukan tangisan masing-masing. “Percaya, Ihsan. Allah akan memberikan balasan buat siapa yang tidak jujur kepada diri sendiri, orang lain, maupun Allah!”, seru temanku, Vita, dengan suara cemprengnya yang khas. Semakin terdengar tangis kerinduan dari mereka, semakin memaksaku untuk bertanya. Tuhan, kapankah aku bisa pulang?
            Di balik acara temu kangen yang terjadi, masuklah sesosok wanita yang sangat amat kukenal. Ibu! Akhirnya seseorang yang paling kunanti-nanti telah hadir di depan mata, seseorang yang paling aku kecewakan karena tragedi yang menimpaku. Sosoknya tampak pucat, bermata sayu sembab, dan terlihat sangat lelah. Segera kupeluk sosok ibuku. “Ini dia hadiah dari kami, Ihsan. Selama ini ibumu tidak bisa menjengukmu karena beliau memang tidak keluar rumah sama sekali. Ibumu takut dengan apa kata tetangga. Ibumu juga belum siap untuk melihatmu menangis.” Pernyataan Bu Naini membuatku semakin tertusuk. Apa salah ibuku, Tuhan? Hingga ia harus mengalami derita pahit seperti ini. Dan semua itu gara-gara aku!
            “Buk, Ihsan nyuwun pangapunten. Ihsan cuman saged nguciwani. Ihsan mboten wonten ginane kangge Ibuk. Naming Demi Allah, Buk, Ihsan mboten kedah nyolong. Sumpah, Buk!”
            “Ora ngapa-ngapa, Le. Ibuk reti. Ibuk percaya yen kowe ora bakal nyolong. Ibuk ngerti Ihsan iku kayak piye. Ibuk njaluk ngapura Le, yen durung tau mrene njenguk kowe. Ibuk bingung ameh numpak apa. Yen metu, mesti Ibuk dirasan-rasani. Iki wayahe Ibuk mrene, sekaliyan ameh ngomong ning kowe yen Pak Restu kena kasus korpusi, Le. Lan sing paling penting yaiku ana suwara yen ana bocah SMP wingi ing daleme Pak Restu ameh wawancara kanggo tugas sekolah, iku ngerti ana bocah lanang cilik lagi mbukaki lemari karo njipuk artane Pak Restu. Jebule bocah iku putrane Pak Restu dewe, Antonius!”Serentak, aku, Bu Naini, dan teman-temanku terlonjak kaget. Seorang Antonius? Anak orang kaya nomor satu di desa, anak yang cerdas, murid dari sekolah ternama, justru mencuri?
            “Astaghfirullahaladzim. Apa leres Buk niku? Antonius? Anton kan putrane Pak Restu piyambak! Ibuk ngertos pawarta menika saking pundi?”
            “Bener, Le. Ing desa lagi rame kabare Antonius lan bapake iku. Bocah SMP sing jenenge, Maria, Bela, Wartini iku iseng ngrekam aksine Anton! Cah telu iku ora reti yen maksude Anton ameh maling. Videone lagi diwehke polisi sakwise reti berita tentang kowe gempar. Anton karo Pak Restu lagi diproses karo polisi pekara kasuse dewe-dewe. Ya Allah, Le, Gusti Allah pancen Maha Adil. Kowe bakal dibebaske yen wong lara iku sida dinyatake bersalah. Kowe ndang bali ya, Le!”
            Semua pun ikut menangis, tersenyum, terisak, dan entah perwujudan emosional apa lagi yang telah terbentuk setelah Ibuku menyatakan perihal jawaban dari Tuhan. Ya, kemungkinan aku akan segera bebas bila kedok Antonius dan Pak Restu terbongkar dengan cepatnya!
----------------------------------------◙◙◙◙◙◙◙◙◙◙----------------------------------------

Sinar matahari di hari Minggu terasa menusuk tajam hingga retina mataku, terkecuali dengan tusukan di hati yang telah terobati. Kuhirup udara sejuk di depan rumahku. Pertanda bebas. Tuhan memang selalu menunjukkan Kuasa-Nya. Kebenaran telah tersingkap. Pak Restu dinyatakan bersalah setelah menggunakan uang rakyat sebesar 690 miliar rupiah, berupa uang desa dalam kota dan uang relasi dengan desa tetangga. Ia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Sedangkan Antonius? Menikmati makanan-makanan istimewa di rumah, duduk-duduk sambil menonton TV, dan bermain Playstation sepuasnya. Tapi apalah arti sebuah kebahagiaan lahir, bila kebahagiaan batin telah sirna. Kehilangan kasih sayang seorang ibu, kehilangan sosok ayah, dan juga kehilangan kepedulian dari masyarakat sekitar. Semua orang di sekitar rumah, termasuk juga di sekolahnya, mencoba menghindar sehindar-hindarnya dari sisi Anton. Teman pengusir kesepiannya hanyalah Pak Doni, tukang kebun yang ia bayar mulutnya demi merahasiakan uang haram yang diambil hanya untuk dihura-hurakan saja. Untuk apa memiliki orangtua yang kaya bila tak pernah diberi perhatian?
Kini aku mengerti. Kekuasaan bisa membeli hukum untuk digunakan dengan sewenang-wenang, tetapi kekuasaan tidak akan bisa membeli kasih sayang. Rakyat bawah hanya bisa dijadikan korban dari sebuah tindakan yang tidak beradab. Kejujuran, yang terdengar hanyalah sepenggal kata sederhana, justru pengendali utama sebuah pribadi. Siapa yang akan menanam buah kebaikan, akan merasakan kemanisannya. Begitu pula dengan kejujuran.“Qullil haqqo walau kaana muuron”, Katakanlah kebenaran walaupun itu pahit adanya. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dari segala macam zat terkecil apapun di dunia ini.



TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar